DAFTAR ISI

Jumat, 28 Oktober 2011

MAKSUD HIDUP MANUSIA

dijengkelkannya dan dirugikannya. Kalau hanya sekedar untuk makan si monyet
dan si babi, bagi petani tidak jadi masalah, tetapi masalahnya walaupun sudah
cukup makan tetapi yang lain dirusaknya semua.

Hari ini manusiapun sudah banyak yang bersifat seperti itu. Tidak cukup dengan
mengenyangkan isi perutnya saja, tetapi baru puas ketika melihat orang lain
susah, melihat orang lain sengsara. Jika kita tidak berjuang atas manusia maka
akan timbul manusia yang seperti ini.

Kalau tanah dibiarkan lagi tidak digarap, maka hutan ini akan menjadi hutan
belantara, tumbuh pohon-pohon besar yang rindang-rindang sehingga
menyebabkan hutan menjadi lembab dan sinar matahari tidak dapat masuk.
Maka di tempat-tempat seperti ini akan hidup binatang-binatang berbisa seperti
ular, kalajengking, dan sebagainya.

Sifat binatang ini lebih buruk daripada sifat binatang lainnya tadi. Seperti ular
jika dia mematuk binatang yang lain bukan untuk dimakan tetapi hanya untuk
kebanggaan saja. Jika ular itu mematuk kerbau, maka tidak untuk dimakan
kerbau itu, tetapi si ular bangga bisa membunuh kerbau yang besar dengan
bisanya itu.

Kerbau tersebut ditinggalkan begitu saja dan tidak dimakan oleh si ular. Hanya
untuk kebanggaan, hanya untuk kesenangan, hanya untuk kepuasan hati,
dibinasakannya binatang-binatang yang lain oleh ular. Begitu juga jika manusia
tidak diperjuangkan akan sampai ke tahap itu.

Manusia macam ini hanya untuk iseng saja demi kesenangan dia semata,
mampu membinasakan, merugikan, dan menghancurkan daripada yang lain.
Dan orang-orang yang semacam inipun sudah banyak di dunia ini. Inilah yang
terjadi jika kita meninggalkan usaha atas diri manusia ini.

Salah seorang professor di bandung mengkritik tentang pola kehidupan orang- orang di jakarta. Dia katakan bahwa di jakarta ini masyarakatnya berlapis-lapis, bertingkat-tingkat. Tetapi pada umumnya kata dia semuanya hanya fikir makan saja di semua lapisan. Lapisan lapisan itu adalah :

1. Lapisan Bawah ( Penghasilan kurang : kuli, tukang becak, pegemis ) : “Besok
saya bisa makan atau tidak ?” saat itu dapat makan, saat itu dihabisin
makanannya, tergantung penghasilannya hari itu.

2. Lapisan Menengah ( Penghasilan cukup ) : “Besok makan apa kita ?” mungkin karena sudah bosan tidak mau memakan makanan yang sama, harus beda tiap harinya. Hari ini makan sayur asam, besok dia fikir bagaimana mendapatkan sop. Jadi ada makanannya hanya jenisnya yang lain.
5

3. Lapisan Atas ( Penghasilan orang yang Kaya ) :”Besok akan makan dimana kita ?” sudah bosan di restoran ini dia akan cari restoran yang lain, tidak bisa makan di restoran yang sama tiap harinya.

4. Lapisan Akhir ( Penghasilan dari Kedzoliman ) : “Besok siapa lagi yang bisa
gua makan ?” Dia fikir makan tetapi dari mendzolimi orang lain. Tiap hari yang
dipikirin bagaimana makan orang ? artinya bagaimana dia dapat memeras orang
atau dapat menggencet orang ? otaknya otak kriminal, maunya menyusahkan
orang lain, bahkan orang macam ini jangankan teman, keluarganyapun dia
makan.

Ali Karamallah Wajhahu berkata kalau manusia itu fikirnya hanya memikirkan
apa yang akan masuk kedalam perutnya maka derajatnya disisi Allah sama
dengan apa yang telah dikeluarkan dari perutnya. Beginilah hasilnya jika
manusia tidak diperjuangkan yaitu mereka akan menjadi rendah dan hina.

Derajatnya di sisi Allah seperti apa yang dikeluarkan perutnya yaitu kotoran,
tidak ada nilai, rendah, bahkan tidak pantas untuk dilihat atau dipandangi. Hari
ini banyak orang-orang yang menganggap bahwa kehidupan orang-orang kafir
itu tinggi, padahal kalau diperhatikan kehidupan mereka tidaklah tinggi seperti
yang mereka perkirakan. Sifat daripada orang kafir yang tidak beriman ini,
kehidupan daripada keduniaannya itu tinggi-tinggi, tetapi fikirnya daripada orang
kafir itu rendah.

Jadi orang kafir ini keduniaannya tinggi, namun fikirnya rendah. Orang kafir ini
pola kehidupan yang ideal bagi mereka adalah rumah yang bagus, pakaian yang
indah, mobil yang mewah, makanan yang enak, tetapi fikirnya rendah yaitu fikir
kebendaan saja. Namun orang beriman ini kehidupan daripada keduniaannya
rendah-rendah, tetapi fikirnya tinggi.

Orang beriman ini pola kehidupannya sangat sederhana dari makanan, pakaian,
transportasi, rumahnya, tetapi fikirnya tinggi. Bagaimana fikirnya orang
beriman ? yaitu bagaimana dirinya dan seluruh manusia dapat selamat dari
adzab Allah di dunia dan di akherat. Itulah fikir dan sifat atau pola hidup
daripada orang beriman.

Kejadian-kejadian yang ada di dunia ini yang disebabkan oleh manusia yang
telah menjadi rendah akhlaq dan prilakunya adalah tanggung jawab kita semua,
selaku umat Rasullullah SAW. Karena kita telah tinggalkan daripada usaha atas
manusia maka hal-hal yang semacam : saling bunuh membunuh, saling
memerangi, saling merampok, telah terjadi pada manusia saat ini.

Sehingga susah mendatangkan kedamaian dan keamanan yang hakiki. Ini
karena kita telah tinggalkan usaha kenabian ini. Kalau usaha kenabian ini
dihidupkan lagi maka manusia akan naik derajatnya disisi Allah. Seperti ketika
sebelum diutusnya Rasullullah SAW, kehidupan di Hijaj sangat rendah sekali,
sudah seperti kehidupan hewan saja. Bunuh membunuh, terkam menerkam,
6
satu sama lain sudah menjadi biasa.

Bahkan sifat dan kelakuan mereka sudah lebih rendah daripada binatang ternak,
lebih rendah daripada binatang buas, lebih rendah daripada binatang perusak,
bahkan lebih rendah daripada binatang berbisa. Itulah kehidupan jahilliayah di
mekah sebelum kedatangan Nabi SAW. Kata Ulama untuk berjudi saja,
dipertaruhkan nyawa manusia., mereka bertaruh main tebak-tebakan mengenai
isi kandungan dari wanita hamil yang baru saja lewat didepan mereka, “Apakah
janin yang ada dalam perut wanita hamil itu adalah laki-laki atau perempuan ?”
Untuk membuktikan ini, si perempuan itu dibelah perutnya, dibunuh hanya untuk
iseng saja, dijadikan medan perjudian.

Kehidupan manusia hanya dijadikan sebagai bahan permainan. Biasa saja bagi mereka membinasakan, dan mensengsarakan daripada kehidupan orang lain. Begitu buruknya kehidupan manusia saat itu.

Sehingga Allah utus Rasullullah SAW untuk membuat usaha atas mereka yang
kehidupannya sudah begitu rendah. Diusahakan secara terus menerus oleh Nabi
SAW, maka kehidupan mereka meningkat, yang jasadnya manusia tetapi
sifatnya adalah sifat malaikat. Apa itu sifat malaikat ? yaitu taat pada Allah SWT,
hanya menjalankan perintah Allah saja, kerjanya ibadah saja kepada Allah. Ini
karena malaikat itu tidak punya nafsu, mereka tidak makan, tidak minum, tidak
tidur, tidak punya istri, kerjanya hanya ibadah saja kepada Allah.

Manusia ini kalau diperjuangkan bukan dia berarti dia berubah menjadi malaikat
tetapi maksudnya dia akan memiliki sifat malaikat, yaitu sifat taat kepada Allah
SWT. Jadi Malaikat ini diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala
saja, taat saja tidak bisa yang lainnya. Dan untuk ini pula manusia diciptakan
oleh Allah Ta’ala, dalam Mahfum Firman Allah :
“Tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk beribadah (menngabdi)
kepadaKu.”

Ini akan terjadi jika manusia ini diusahakan dengan usaha atau kerja kenabian.
Rasullullah SAW telah berhasil merubah mereka dari mempunyai sifat
kehewanan yang wujud dalam diri mereka meningkat menjadi memiliki sifat
malaikat.

Sehingga sahabat-sahabat RA menjadi terasa nikmat dalam beribadah kepada
Allah Ta’ala. Walaupun jasadnya jasad manusia tetapi sifatnya seperti malaikat.
Banyak diantara sahabat RA yang mengorbankan sifat hewannya. Mereka
banyak mengurangi makannya dan mengurangi tidurnya demi memperbanyak
beribadah kepada Allah Ta’ala. Banyak diantara mereka sedikit saja tidurnya
diwaktu malam karena mereka menggunakan waktu malamnya hanya untuk
beribadah kepada Allah Ta’ala.
Bahkan ada diantara mereka yang semalam suntuk tidak tidur hanya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Itu dapat terjadi setelah diusahakan oleh Nabi SAW dengan usaha kenabian maka telah terjadi perubahan dalam diri mereka. Walaupun jasadnya jasad manusia tetapi sifatnya seperti sifat malaikat.
RENUNGAN - MAKNA HIDUP HAKIKI
Siapapun yang hidup di dunia ini, semua manusia tiada terkecuali pasti akan mati, lantas apa sebenarnya yang akan dituju oleh manusia di dunia ini. Apa hanya hidup semata-mata untuk bekerja, berumah tangga, bersuka ria, bersenang-senang dengan harta yang dimilikinya, atau hanya bersedih dan berkeluh kesah dalam kemiskinan, kemudian lalu kita mati tidak berdaya ?. Lantas setelah mati kita akan menguap seperti asap dari rokok yang dibakar, hilang entah kemana. Ataukah manusia yang memang dilahirkan dalam ketiadaan itu, akan mati dalam ketiadaan pula ?. Kalau iya, benarkah hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka ?.

Tentunya tidaklah demikian, sesungguhnya bahwa manusia akan terus ada dan tidak akan pernah menguap ataupun menghilang, karena manusia akan menjalani kehidupan di akhirat nanti. Dengan demikian maka jelaslah bahwa yang dituju oleh semua manusia adalah akhirat kelak. Suka atau tak suka, lambat atau cepat, mengelak ataupun mengakui, semua manusia pasti akan menuju kesana. Manusia dalam hidupnya selalu merindukan kebahagiaan, sementara banyak persepsi manusia bahwa ia tidak akan pernah mencapai kebahagiaan selama terikat dengan aturan aturan hukum tertentu.

Perjalanan waktu ternyata memutar balikan paham tersebut, bukti sejarah menunjukkan, kebahagiaan yang hakiki ternyata bukanlah berasal dari pola hidup bebas tanpa aturan seperti burung terbang di angkasa, justru diperoleh melalui pola hidup yang konsisten mentaati suatu aturan tertentu, baik aturan yang dihasilkan dari buah karya manusia bijak zaman yang lampau, ataupun bahkan yang dibuat langsung oleh Sang Maha Pencipta Alam Semesta ini, yang orang meny ebutnya aturan-aturan ini dengan istilah agama. Jadi pada hakikatnya agama adalah suatu pedoman hidup yang menuntun penganutnya untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Yang merupakan langkah awal dalam mencari kebahagiaan, para ahli sependapat bahwa manusia harus mengetahui dan menyadari terlebih dahulu tentang makna keberadaannya di dunia ini. Kitab Suci dari masing-masing agama sebagai pedoman hidup yang diyakininya, menjelaskan tentang konsepsi manusia dengan amat jelas dan gamblang. Manusia adalah makhluk hidup yang diberi kebebasan penuh dalam berprilaku dan bertindak, apakah mau taat atau mau membangkang terhadap aturan main yang sudah ditentukan oleh Kitab Sucinya, tinggal pilih mau kenikmatan surga atau siksa neraka.

Namun dalam kenyataan dan prakteknya, ternyata untuk dapat selalu taat pada aturan agama tidaklah mudah, karena ada dorongan hawa nafsu ataupun rayuan setan yang selalu menggoda. Bila manusia mampu mengendalikan nafsu yang ada pada dirinya masing-masing dan menaklukkan rayuan setan yang selalu mengajak untuk membangkang, maka ia dapat selalu taat melaksanakan aturan agama yang diyakininya. Oleh karena itu manusia perlu berupaya untuk meningkatkan dan mempertebal keyakinannya (keimanannya).

Pengalaman hidup mengajarkan, bahwa keyakinan seperti layaknya anak tangga, tidak datar tetapi bertingkat-tingkat. Sesuai dengan tingkatannya, tergantung bagaimana orang memfungsikan akal dan kalbunya secara optimal dalam upaya menggapai kebenaran dan kebahagiaan yang hakiki. Semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang, semakin tinggi pula ujian yang harus dihalau, ujian terberat bagi kebanyakan manusia adalah yang berkaitan dengan harta dan pangkat. Harta dan pangkat sering dengan mudah membuat manusia terbius, terlena dan terlupa akan tujuan hidupnya yang hakiki di dunia ini.

Bila dilihat dari permukaan saja, dunia ini sangat indah dan mempesona, maka tak heran banyak yang tergiur dan terpedaya olehnya. Padahal kalau kita mau menyelami dan mendalami hakikat yang sebenarnya, maka akan nampak dunia itu tak lain hanyalah panggung sandiwara dan tipuan kosong belaka. Betapa hari ini dibuatnya kita tertawa terpingkal-pingkal, namun esok hari dibuatnya kita menagis tersedu-sedu. Maka barang siapa menyaksikan dunia dengan menggunakan mata batinnya, niscaya ia tidak akan rela menggunakan sebahagian besar waktu dan tenaganya hanya untuk merengkuh dunia kedalam genggamannya.

Oleh karena itu kita harus segera menyadari, bahwa dunia hanyalah batu loncatan bagi manusia untuk mencapai akhirat. Dunia bukanlah tempat yang diciptakan Tuhan untuk ditinggali selamanya, namun hanyalah tempat persinggahan sementara dalam perjalanan kita manuju kampung halaman yang abadi yang telah disediakan Yang Kuasa, yaitu akhirat. Bukankah bagi seorang pengembara itu, kenikmatan adanya di akhir perjalanan ?. Selamat menjalankan ibadah puasa romadhon bagi umat muslim, mohon maaf lahir bathin, semoga segala amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Bagi seluruh rakyat negeri ini, mari kita implementasikan kedamaian dan kerukunan umat beragama di bumi pertiwi tercinta ini.
Tips Cinta Menuju Kebahagiaan dan Keberkahan Hidup
Tips cinta menuju kebahagiaan dan keberkahan hidup pada postingan artikel kali ini adalah sebagai lanjutan dari artikel sebelumnya yang mengulas secara singkat tentang perjalanan kisah cinta dan kasih sayang orang shaleh dan shalehah. Pada postingan sebelumnya yaitu tentang cerita dan kisah cinta dalam sekuntum cinta pengantin surga yang lebih menitikberatkan pada gambaran cinta dari segi agama. Dan pada artikel cinta kali ini, makna hidup ingin berbagi tentang tips cinta menuju kebahagiaan dan keberkahan hidup (insya Alah Ta’ala) yang lebih mendekati pada hubungan cinta sesama manusia atau pendekatan dari segi kehidupan manusia.

Apakah kita telah mendapatkan arti cinta dan makna cinta sejati yang sesungguhnya? Apakah kita mengerti arti cinta sejati yang setiap orang dambakan dalam hidup dan kehidupannya? Pada pandangan agama Islam, cinta sejati hanyalah milik Allah dan apabila ada yang harus kita cintai, maka Allah lah yang pertama wajib kita cintai. Tak ada kata yang perlu terucap, tak ada kalimat yang perlu disuarakan, karena cinta sejati mutlak hanyalah milik Allah. Namun kita harus bersyukur tatkala Allah anugerahkan pada diri kita mahabbah “Kecintaan” serta kasih sayang terhadap manusia sehingga hal itu bisa membawa manusia pada kebahagiaan dan kedamaian hidup.

Begitu indah hidup ini terasa jikalau cinta telah hinggap dalam hati sanubari seseorang. Kata “Cinta” mempunyai banyak arti dan makna yang terkandung di dalamnya. Makna hidup mengartikan cinta secara sederhana yaitu sebagai suatu perasaan hati yang merupakan ekspresi dari batin seseorang terhadap sesuatu hal yang membuat hatinya merasa tertarik, suka dan terpikat terhadap apa yang ia lihat, dengar serta rasakan. Sehingga arti cinta itu sendiri bagi seseorang adalah sebagai suatu perasaan hati dan ungkapan jiwa yang paling dalam sehingga sangat perlu dijaga apabila kita ingin hal itu selalu berada dalam harapan dan impian kita.
Dalam banyak hal, cinta bisa membawa arah kehidupan manusia, tergantung ia bawa kemana perasaan cinta itu. Dalam artikel kali ini makna hidup ingin berbagi sesuatu dengan sahabat semua yaitu tentang tips sederhana agar cinta membawa ketenangan, keberkahan dan kebahagiaan yang hakiki…insya Allah Ta’ala. Dan pada artikel cinta ini, makna hidup membatasi bahasan cinta dalam hubungannya manusia dengan manusia lainnya saja. Ada beberapa tips cinta yang ingin makna hidup sampaikan pada sahabat terutama pada sahabat yang saat ini sedang jatuh cinta, yang tentunya tips cinta ini memiliki isi dan makna yang sesuai dengan pemikiran penulis yang masih awam.

1. Cintailah apa yang Anda cintai dengan ikhlas dan ketulusan hati.

Ikhlas dalam mencintai seseorang merupakan syarat utama dalam proses mendapatkan keberkahan dan kenikmatan yang tiada tara. Dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu, akan menjaga perasaan cinta itu menjadi tetap sehat, baik dan kuat. Kokohnya perasaan cinta adalah sebuah perjalanan hati yang didasari pada keikhlasan. Tanpa keikhlasan, maka sahabat semuanya tak akan mendapatkan apapun melainkan hanyalah penyesalan dan kekecewaan suatu saat nanti.

2. Bersikap jujur dan apa adanya dalam menyikapi perasaan cinta.

Kejujuran merupakan perbuatan yang dapat memperkokoh perasaan cinta yang tumbuh dalam hati. Dengan bersikap jujur, maka seseorang akan merasakan manisnya cinta, sedangkan kebohongan merupakan bom waktu yang setiap saat akan meledak. Kejujuran ini merupakan bentuk sikap yang didasarkan pada perilaku hati seseorang dalam menyikapi apa yang ia cintai. Sehingga bila sikap jujur telah tertanam dalam diri sahabat, dan sahabat terapkan dalam segala hal terutama cinta terhadap manusia lainnya, maka cinta akan menjadi kebaikan yang mengundang kebahagiaan dan keberkahan dalam hidupnya.

3. Berusaha memahami tujuan utama dari cinta.

Tujuan cinta sebenarnya adalah sebagai sarana untuk mendekatkan diri terhadap apa yang ia sayangi. Jadi, bila tujuan cinta ini dijaga, maka harapan sahabat untuk memiliki apa yang sahabat cintai akan lebih dekat, namun bila sahabat tidak memahami tujuan cinta ini, maka ia akan menjadi perasaan yang tiada arti bagi sahabat sendiri dan menjadikan harapan sahabat semakin jauh dari kenyataan apalagi sampai pada tahap keberkahan dan kebahagiaan.

4. Menghargai cinta sebagai anugerah terindah dalam hidup.

Cinta sebenarnya anugerah terindah dari Tuhan yaitu Allah Ta’ala kepada manusia, agar manusia bisa menikmati segala sesuatu yang ada di sekitar kehidupannya. Bila sahabat menganggap cinta sebagai anugerah terindah dari Tuhan, maka semestinya sahabat akan memperlakukan anugerah itu dengan sebaik-baiknya. Cinta perlu dijaga dan dirawat agar membawa kebaikan dan kebahagiaan pada sahabat. Hargailah cinta, karena ia akan membawa sahabat pada keberkahan hidup yang sesungguhnya!

5. Hendaknya sahabat jangan menjadikan cinta sebagai sarana permainan semata dan tindakan bersenang-senang saja.

Cinta itu suci dan cinta akan menjadikan si pemiliknya menjadi mulia manakala ia tidak menjadikan cinta sebagai sarana mempermainkan hati seseorang, atau hanya untuk bersenang-senang saja. Bila sahabat melakukan ini, maka suatu saat nanti sahabat akan merasakan cinta itu sebagai suatu perasaan hati yang hampa dan jiwa sahabat pun akan menjadi permainan hati sahabat sendiri. Jangan nodai perasaan cinta dengan perbuatan-perbuatan buruk, dan jangan coba-coba untuk mempermainkan perasaan hati, karena ia akan menjadi masalah besar bagi sahabat pada akhirnya. Allahu A’lam.

Demikian tips cinta sederhana dari makna hidup tentang tips cinta yang membawa pada keberkahan dan kebahagiaan hidup. Dampak persaan cinta akan sahabat rasakan sendiri, tergantung dari apa yang sahabat tuju, harapkan serta impikan. Semoga tips sederhana dari penulis makna hidup, dapat bermanfaat bagi sahabat yang ingin membawa cinta sejati menuju kebahagiaan dan ketenangan hidup sahabat, terutama yang sedang jatuh cinta pada seorang kekasih, Aamin.
Hidup Dalam Kebenaran

I. PENDAHULUAN
Apakah yang disebut dengan “kebenaran”? Ini adalah suatu pertanyaan yang sederhana tentang kebenaran, namun jawabannya tidak sesederhana itu. Perlu memikirkan hal ini dengan lebih dalam, kemudian mengaplikasikannya di dalam kehidupan setiap hari. Kebenaran bukanlah hasil dari sebuah proses berpikir yang diungkapkan melalui kata-kata, namun lebih dari itu, kebenaran berbicara tentang fakta dan realita yang menunjuk kepada eksistensi manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri dan masyarakat sekitarnya. Kebenaran harus dipahami di dalam konteks yang benar, hingga kebenaran itu mampu diaplikasikan di dalam kehidupan setiap hari, dengan konsep dan perilaku yang benar.
Seiring berjalannya waktu, pemahaman tentang kebenaran terus mengalami perubahan. Setidaknya kebenaran telah bergeser dari “kebenaran yang objektif” kepada “kebenaran yang relatif.” O.S. Guinness, menuliskan hal ini demikian: Pertama bertindak mewakili pandangan tradisional tentang kebenaran, yaitu kebenaran objektif, bebas dari penafsiran orang dan ditemukan. Kedua berbicara mewakili relatifitas modern, yaitu kebenaran “sebagaimana seseorang melihatnya [kebenaran]” sesuai dengan perspektif dan penafsiran masing-masing orang. Dan ketiga, mewakili ekspresi yang terang-terangan dan radikal yang bersifat relatif atau postmodern, posisi - “kebenaran” tidak ditemukan; masing-masing kami menciptakan kebenaran untuk kami sendiri.(01)
Pergeseran pemahaman tentang kebenaran, tentu mempengaruhi pola dan tingkah laku masing-masing orang di dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang hidup bermasyarakat bisa bertindak menentang hukum, atau melanggar hak-hak asasi orang lain dengan dalih melakukan hal yang benar. Ini tentu merugikan orang lain. Ada begitu banyak contoh yang terjadi di sekitar kehidupan kita yang mencerminkan pola dan perilaku seperti demikian. Pertanyaan yang mengemuka adalah: Di dalam kemajemukan masyarakat dan kompleksitas permasalahan yang terjadi di dalamnya, masih adakah kebenaran sejati? Bisakah seseorang hidup di dalam kebenaran yang sejati di dalam konteks kemajemukan masyarakat seperti ini? Pergumulan ini hanya bisa dijawab jika kita memikirkan ulang tentang kebenaran di dalam kerangka hubungannya dengan Allah, diri sendiri dan masyarakat.


II. TENTANG KEBENARAN
Pergumulan tentang kebenaran bukanlah hal yang baru di dalam bidang filsafat dan pengetahuan. Sejak zaman dahulu orang telah memikirkan tentang arti kebenaran dan sampai hari ini sulit untuk menemukan arti yang tepat dalam menjelaskan tentang konsep ini. Mengapa? Karena konsep ini sangat kompleks dengan berbagai variabel yang terkait di dalamnya.(02) Walaupun tidak ada pengeratian yang tepat di dalam menggambarkan tentang kebenaran dari sudut pemikiran manusia, namun kita perlu menentukan batasan yang menjadi dasar pijakan untuk memikirkan tentang konsep kebenaran sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman ini.
Umumnya, konsep ”kebenaran” ini dikaitkan dengan kesalahan, ketidakbenaran, kekeliruan, kepura-puraan / kemunafikan, ketidakjujuran / kebohongan, dan kepalsuan. Kamus Oxford menterjemahkan kebenaran dengan beberapa pengertian: (1) ”kualitas atau keberadaan yang benar”; (2) sesuatu yang benar; (3) fakta atau keyakinan yang dapat diterima sebagai sesuatu yang benar.(03)
Kamus filsafat mendefinisikan kebenaran sebagai: Suatu karakteristik dari beberapa arti proporsional, yaitu sesuatu yang benar. Kebenaran (atau kesalahan) meliputi ”ide-ide” yang secara normal terbatas kepada hal-hal yang proporsional di dalam natur, yaitu konsep yang diungkapkan dengan kata-kata yang menunjuk suatu kondisi atau tidak lebih daripada kondisi yang benar atau salah. Kebenaran dapat diramalkan secara tidak langsung melalui kalimat atau simbol-simbol yang mengekspresikan arti-arti yang benar.(04)
Idealnya, kedua definisi ini seharusnya mampu menjembatani perbedaan persepsi di dalam memahami tentang kebenaran. Namun faktanya tidak demikian, manusia memiliki pandangan yang berbeda, ketika memikirkan dan mengaplikasikan tentang kebenaran.

Kebenaran Objektif dan Relatif
Setidaknya ada 2 kutub yang melihat kebenaran secara berbeda: pertama, adalah melihat kebenaran Objektif; dan kedua adalah melihat kebenaran Relatif.

1. Kebenaran Objektif
Apakah ada sesuatu yang benar-benar objektif? Mungkin seseorang akan menganggap pernyataan A ini benar dan yang lain memandang A, tidak benar. Namun yang pasti hanya ada satu pernyataan A yang benar (bukan menurut pandangan orang tersebut) dan yang lain pasti salah. kebenaran di dalam area ini bukanlah menurut hasil pemikiran dan pendapat seseorang, melainkan ditemukan atau dinyatakan kepadanya. Kebenaran ini bersifat mutlak dan tidak bergantung kepada pendapat atau hasil pemikiran orang. Ini yang disebut dengan kebenaran objektif. Moreland and Craig, merumuskan kebenaran objektif sebagai berikut: Mereka yang mengklaim bahwa kebenaran itu tidak berasal dari pribadi-pribadi, kelompok-kelompok lainnya, mereka menerima kebenaran absolut, dan menyebutnya kebenaran objektif. Dalam pandangan ini, seseorang yang menemukan kebenaran, ia tidak menciptakan kebenaran itu, dan klaim yang dibuat benar atau salah di dalam beberapa cara atau dengan realita kebenaran itu sendiri, yang secara total bebas dari klaim apapaun yang diterima oleh seseorang.(05) Harus diakui, walaupun kebenaran objektif di dalam area ini tidak bergantung kepada akal budi manusia, namun kebenaran objektif tidak akan pernah lepas dari peran akal budi itu. Di sini akal budi berperan bukan untuk menciptakan kebenaran, melainkan menemukan dan meneguhkan kebenaran sesuai dengan realitanya.
Lebih lanjut validitas dari kebenaran objektif itu harus dapat dibuktikan oleh satu atau dua orang. Meskipun kebenaran objektif bergantung kepada inspirasi atau penyataan, namun kebenaran ini bukanlah semacam spekulasi dari keyakinan yang buta. Kebenaran ini harus melalui pembuktian. Kebenaran objektif jika tidak dapat dibuktikan, maka tentu kebenaran itu tidak dapat dikatakan objektif. Eric Blanchone menuliskan: Suatu kebenaran dapat menjadi kebenaran sesungguhnya, maksudnya sesuatu yang sungguh benar. Sebagai contoh jika saja menceritakan kepada Jane bahwa Bob mengatakan sesuatu tentang dia [Jane] dan ia [Bob] sungguh melakukannya, maka itu adalah suatu kebenaran karena perkataan itu dapat dibuktikan. Hal itu akan menjadi kebenaran objektif jikalau itu dapat dibuktikan oleh satu atau dua orang.(06)
Penelitian yang lebih dalam menemukan bahwa, objektifitas suatu kebenaran dapat diketahui dan dipahami melalui bidang ilmu-ilmu yang dapat menunjukkan realitas dari kebenaran-kebenaran itu. Millard J. Erickson menuliskan: kebenaran objektif adalah jenis kebenaran yang ditemukan di dalam studi tentang sains, sejarah, matematika, dan sejumlah realita lainnya, yang mana realita itu adalah hal yang penting untuk mengetahui dan memahami beberapa objek yang mungkin sekali tepat.(07) Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran objektif berkaitan dengan realitas yang ada di sekitarnya.
Kekristenan salah satu penganut Teisme,(08) mengakui kebenaran objektif di dalam arti: kebenaran tidak pernah diciptakan oleh manusia. Pemahaman tentang Allah dan manusia dalam hubungannya dengan sesama, serta alam ciptaan-Nya dengan segala kebenaran yang terkandung di dalamnya adalah diinspirasikan oleh Allah. Kebenaran itu berasal dari Allah dan tidak pernah dapat diciptakan oleh manusia. Kebenaran itu diwahyukan kepada manusia oleh kehendak Allah. Manusia sebagai ciptaan Allah yang diberikan akal budi dan hikmat oleh Allah memiliki tugas untuk menemukan, meneguhkan dan mengaplikasikan kebenaran itu sesuai dengan realitasnya.
Kebenaran objektif di dalam kekristenan bukanlah suatu spekulasi dari keyakinan yang buta, melainkan melalui pembuktian yang sudah dilakukan oleh ribuan bahkan jutaan orang. Dokumen Perjanjian Baru yang memuat banyak kebenaran objektif. Para sejarahwan, Arkeolog dan para Skeptis sekalipun, telah melakukan penelitian terhadap dokumen perjanjian Baru, tokoh – Yesus Kristus dan para rasul-Nya, tempat-tempat yang menjadi saksi hidup hadirnya para tokoh dengan peran mereka masing-masing, situasi pemerintahan pada waktu itu, kesaksian literatur yang lain (mis. dari filsuf-filsuf Yunani dan kitab suci agama lain - Qur’an) sampai kesaksian dari penulis atau sejarahwan yang hidup hampir bersamaan dengan kehidupan para tokoh tersebut, mengakui, menyetujui, dan memberikan rekomendasi bahwa semua itu adalah benar. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Perjanjian Baru memuat banyak sekali kebenaran objektif. Millard J. Erickson memberi penilaian untuk dokumen PB dengan menuliskan: sama halnya, pendekatan objektif berkenaan dengan pandangan kekristenan bahwa Perjanjian Baru adalah suatu dokumen historis, maka pendekatan yang sederhana ini dipakai sebagai suatu dasar bagi penyelidikan historis, yang kemudian menetapkan kebenaran Kristen.(09) Implikasi dari klaim tentang kebenaran objektif di dalam kehidupan bermasyarakat adalah bahwa Apa yang dinyatakan Allah kepada manusia melalui firman-Nya merupakan kebenaran objektif dan harus dilakukan. Sebagai contoh bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat harus saling menghargai dan menghormati dengan dasar kasih, menghindari segala macam kemaksiatan dan kejahatan serta hidup di dalam kebenaran sebagaimana diajarkan Alkitab: bersikap jujur, adil, tidak kompromi dengan dosa, menolong dan membantu mereka yang kekurangan, serta melakukan berbagai kebaikan.
Pertanyaan yang terus menjadi pergumulan adalah: Apakah dengan mengklaim tentang adanya kebenaran objektif, maka semua orang yang menjadi bagian di dalam kekristenan pasti hidup di dalam kebenaran ini.? Tentu jawabannya tidak. Mengapa demikian? Karena harus diakui bahwa ada begitu banyak orang Kristen yang tidak hidup di dalam kebenaran. Mereka kompromi dengan dosa dan kejahatan, melakukan kemaksiatan, penuh tipu daya, dan hal-hal lain yang merusak kedamaian. Ini kekristenan tradisi! Mereka tidak sungguh-sungguh bertumbuh dan berakar di dalam kehidupan keagamaannya.
Namun ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak atau menghindari adanya kebenaran objektif. Suatu kebenaran objektif bukan dilihat dari seberapa banyak orang melakukannya atau tidak. Melainkan dilihat pada siapakah yang meyatakan kebenaran itu? Jika Allah yang maha sempurna itu menyatakan kebenaran itu kepada umat-Nya, tentulah kebenaran itu akan menjadi kebenaran yang objektif. Manusia, khususnya mereka yang menjadi bagian di dalam kekristenan hanya menemukan kebenaran itu dan mengaplikasikan kebenaran itu di dalam kehidupannya.

2. Kebenaran Relatif
Kebenaran relatif sangat berakar kuat pada pemikiran zaman modern, khususnya di dalam filsafat Rasonalisme, Empirisisme dan Eksistensialisme. Filsafat Rasionalis sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza - biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662). Rene Descartes terkenal dengan filsafatnya: “Cogito ergo sum”(aku berpikir, maka aku ada). Dalam “Discoursenya” Descartes mencatat pembuktian intelektualnya. Dia berprinsip “tidak akan pernah mau menerima atau menganggap benar sesuatu yang saya tidak tahu dengan jelas itu memang benar demikian.” Benedictus de Spinoza melanjutkan pemikiran Descartes dengan menerbitkan suatu eksposisi atas karya Descartes. Dia memulai dengan ide-ide yang jelas dan nyata, gagasan-gagasan yang dipikirkannya terbukti benar dengan sendirinya. Kebenaran dari gagasan-gagasan itu dapat terlihat dengan merumuskannya secara tepat.(10) Rasionalisme berakar kuat di dalam tradisi filsafat Plato. Pemahaman akan suatu kebenaran harus diukur atau dinilai dengan akal telah mempengaruhi kehidupan manusia sejak itu sampai masa kini. Bagi sebagian orang kebenaran memang harus diukur dan dinilai oleh akal. Tanpa peran dari akal, kebenaran bukanlah kebenaran yang signifikan.
Berbeda dengan filsafat rasionalis, filsafat empiris sangat menjunjung tinggi tinggi perasaan sebagai tolak ukur untuk menentukan sesuatu benar atau tidak. Sesuatu yang dianggap benar haruslah mendapat persetujuan dari perasaan. Tanpa persetujuan dari perasaan, maka sesuatu belum tentu dapat dianggap sebagai kebenaran. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Orang-orang Empirisis menekankan bagian yang diperankan oleh pengalaman dalam pengetahuan. Mereka mengemukakan bahwa kita tidak mempunyai pikiran sama sekali selain yang berasal dari pengalaman melalui indera kita. Pernyataan-pernyataan (selain yang berasal dari logika murni) dapat diketahui benar atau salah hanya melalui mengujinya dalam pengalaman.(11)
Empirisisme muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-1704); George Barkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776).(12) Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan Ham.
Lainnya adalah filsafat eksistensialis. Filsafat ini berusaha mengemukakan ide tentang kebenaran yang berkaitan dengan kondisi dari kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Kierkegaard (1813-1855) bahwa “kebenaran adalah subjektifitas.” Maksudnya bukan setiap kebenaran adalah subjektif, namun kalau seseorang tidak mempercayai sesuatu secara subjektif dan penuh hasrat, ia tidak memiliki kebenaran. Kebenaran itu selalu bersifat pribadi dan bukan hanya berupa teori. Seseorang tidak pernah mencapai kebenaran hanya dengan mengamati, tetapi dengan mematuhi; tidak pernah dengan menjadi penonton, tetapi dengan mengambil bagian dalam hidup; kebenaran ditemukan dalam bentuk nyata, bukan dalam bentuk abstrak; dalam eksistensi dan bukan dalam rasio.(13)
Munculnya berbagai paham filsafat modern yang berusaha untuk mengemukakan tentang kebenaran secara tidak langsung telah membentuk struktur berpikir dan perilaku dari masyarakat yang hidup di dalam dunia ini. Titik tolak dari semua kebenaran-kebenaran ini adalah pengetahuan dan akal budi. Ketajaman akal budi dan kemajuan pengetahuan telah melahirkan “teknologi” yang digunakan sebagai sarana untuk menyatakan kebenaran di dalam eksistensi manusia. Di sini Akal budi dan perasaan/pengalaman manusia yang menentukan suatu kebenaran. Di zaman modern, validitas dan objektifitas suatu kebenaran diuji melalui ilmu pengetahuan (mis. sistem, metode dan penelitian) melalui kecanggihan teknologi. Hal ini telah menjadi ciri khas di zaman modern ini.
Implikasinya bahwa masyarakat, kelompok-kelompok atau individu tertentu yang hidup di dalam masyarakat memiliki kebenaran sesuai dengan apa yang dipahaminya. Ini mengakibatkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Yang salah bisa menjadi benar atau sebaliknya yang benar jadi salah. Sesuatu yang dilakukan oleh orang bisa dikatakan berguna atau tidak berguna bagi orang lain. Etika, Hukum, Politik, Ekonomi bisa dipermainkan oleh karena dianggap tidak benar bagi orang lain, namun ternyata benar bagi diri sendiri.


III. PENOLAKAN TERHADAP KEBENARAN
Postmodernisme tampil sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pemikiran zaman modern, khususnya penolakan terhadap ”The enlightment project” dan seluruh asumsinya. Singkatnya paham ini menolak adanya kebenaran yang objektif baik kebenaran menurut Teisme maupun kebenaran menurut filsafat modern. Postmodernisme berakar kuat kepada pemikiran Friedrich Nitzsche, seorang filsuf Nihilist di akhir abad ke-19. Secara singkat Nitzsche menolak filsafat modern di dalam beberapa hal: (1) penolakan terhadap konsep kebenaran dari enlightment project; kebenaran yang dimaksudkan oleh filsuf enlightment project adalah kebenaran yang objektif di mana hal itu dapat diukur dengan akal dan pengalaman. Namun bagi Nitzsche kebenaran seperti ini tidak real (=nyata). Ia setuju bahwa kebenaran itu eksis di dalam konteks penggunaan bahasa yang spesifik. Kebenaran sebagai suatu fungsi dari bahasa. (2) penolakan terhadap konsep nilai; Bagi Nitzsche, memahami kebenaran dan nilai bukan bergantung kepada kemampuan untuk menembus realitas transendent, tetapi dari kesiapan ”kemauan yang keras.” Kemauan yang keras yang dimaksudkan oleh Nitzsche menunjuk kepada hasrat yang besar untuk menjadi sempurna melalui kreatifitas latihan pribadi. (3) penolakan terhadap pemikiran filsuf pencerahan; Bagi Nitzsche, tugas seorang filsuf bukan menyimpulkan kebenaran metafisik, tetapi bertindak sebagai ”dokter budaya” maksudnya: mengubah sikap orang untuk hidup.(14) Filsuf dan Teolog Martin Heidegger (1884-1976) memiliki pemahaman yang sama dengan Nitzsche bahwa bahasa memainkan peranan yang penting di dalam eksistensi dunia ini di samping akal budi. Menurutnya ”kebenaran berkaitan dengan pewahyuan.” Memiliki kebenaran tidak hanya melalui perhitungan akal budi, tetapi juga melalui meditasi (=perenungan).(15)
Konsep kebenaran yang dipahami oleh Nitzsche kemudian dikembangkan oleh filsuf-filsuf Postmodern. Beberapa di antara mereka menjadi filsuf arus utama, di mana pemikirannya sangat mempengaruhi filsafat postmodern, mis. Jean-Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michael Foucault, Richard Rorty, Paul Feyerbend, Raland Barthes, dan lainnya. Para filsuf ini menolak kebenaran objektif baik secara langsung, maupun tidak langsung. Menurut Jean-Francois Lyotard, pengetahuan di dalam era postmodern telah kehilangan sebagian besar nilai kebenaran atau lebih daripada itu produksi dari pengetahuan tidak lagi menghasilkan aspirasi tentang kebenaran. Hari ini para sisiwa tidak lagi bertanya apakah sesuatu itu benar, tetapi apakah hal itu berguna bagi mereka.(16) Jacques Derrida menolak metafisik barat dengan mendemontrasikan dan mengklaim bahwa Tulisan dari kata-kata tidak tidak berkaitan dengan kata-kata yang diucapkan, kata-kata yang diucapkan tidak berkaitan dengan pikiran dan juga kebenaran atau Allah yang menunjuk kepada referensi metafisik dunia. Baginya penafsiran terhadap teks adalah cara yang tepat.(17) Michael Foucault berpendapat bahwa setiap masyarakat memiliki kuasa tentang kebenaran, itulah kebijakan umum tentang kebenaran; maksudnya tipe dari percakapan yang dapat diterima dan berfungsi sebagai suatu yang benar. Ada mekanisme yang membedakan pernyataan yang benar dan yang salah, sebagaimana hal itu disetujui bersama. Teknis dan pelaksanaannya sesuai dengan nilai di dalam melakukan kebenaran itu.(18)
Bagi para filsuf ini, kebenaran bergantung kepada pribadi atau masyarakat dan bukan kepada realitas. Penekanan pada dekonstruksi (baik dalam hal pemikiran dan bahasa) menjadi dasar bagi filsuf postmodern untuk menolak kebenaran objektif. Andrew F. Uduigwome menuliskan demikian: Filsuf postmodern berpendapat bahwa kebenaran didasarkan kepada masyarakat. Dengan kata lain, apapun yang kami terima sebagai kebenaran bergantung kepada masyarakat di mana kami turut berpatisipasi di dalamnya. Ini mengimplikasikan bahwa tidak ada kebenaran absolut atau objektif. Kebenaran secara sederhana adalah relasi / hubungan. Menurut para filsuf posmo ini, kami hanya memiliki satu-satunya dunia pengalaman di dalam mana kami dilekatkan dan turut berpatisipasi di dalamnya. Konsekuensinya, kami dapat berbicara hanya di dalam konteks itu, dan tidak mencari di luar dari realitas pengalaman itu. Filsuf postmodern menerapkan teori dekonstruksi literatur dari dunia sebagai suatu keseluruhan.(19)
Berbeda dengan kedua kebenaran sebelumnya, kebenaran menurut postmodern tidak lagi bergantung kepada realitas dari suatu objek, atau pewahyuan, tetapi kepada masyarakat itu sendiri, di mana setiap orang berperan untuk menentukan kebenaran itu. Filsafat postmodern mengakui bahwa di dalam dunia ini terdapat begitu banyak kebenaran. Setiap kelompok masyarakat memiliki konsep mengenai kebenaran. Namun bagi filsafat ini tidak ada kebenaran objektif. Di sini kebenaran tidak lagi menjadi kebenaran dalam arti yang sesungguhnya, tetapi menjadi suatu simbol yang tidak ada artinya.
Implikasinya bahwa seseorang dapat melakukan perbuatan ”semau gue” (=baca sesuka hati) dan tidak ada standar untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya yang dilakukannya di dalam kategori ini adalah ”baik.” Apapun yang dilakukannya dan bertentangan dengan moralitas serta hati nurani tetap semuanya itu dianggap baik.
HUBUNGAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT DI INDONESIA

Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui bahwa hubungan individu dan masyarakat itu dapat ditinjau dari segi masyarakat saja (totalisme), ditinjau dari segi individu saja (individualisme) dan ditinjau dari segi interaksi individu dan masyarakat. Dengan memperhatikan tiga pandangan ini maka bagaimana hubungan individu dan masyarakat di Indonesia? Profesor Supomo menyatakan bahwa hubungan antara warga negana dan negara Indonesia adalah hubungan yang integral. Driyarkara SY menyatakan bahwa hubungan masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah hubungan yang integral (Driyarkara, 1959, p. 225). Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa paham yang dianut untuk menggambarkan hubungan antara individu dan masyarakat di Indonesia adalah paham integralisme.


Paham inntegralisme berpendapat bahwa individu-individu yang bermacam-macam itu merupakan suatu kesatuan dan keseluruhan yang utuh. Manusia dalam masyarakat yang teratur dan tertib itu berada dalam suatu integrasi. Menurut Dniyarkara SY integrasi semacam ini dapat berarti dalam arti sosiologis dan psikologis, sebab manusia yang berada dalam integrasi itu merasa aman, tenang dan bahagia. Integrasi semacam ini terdapat dalam masyanakat kecil maupun besar, seperti keluarga, desa dan negara.
Menurut peneitian J. H. Boeke (1953) yang dikutip oleb Driyarkara SY (1959, p. 229-230) terhadap masyarakat Tenganan dan masyarakat Badui serta Tengger disimpuilcan bahwa dalam masyarakat yang integral akan terlihat adanya unsur-unsur pokok sebagai berikut: (1) keyakinan tentang adanya hubungan antara manusia dan dunia yang tak terlihat, (2) hubungan antara manusia dengan tanah tumpah darah yang sangat erat, (3) hubungan antara manusia dengan keluarga yang erat, (4) suatu bentuk masyarakat di mana semua anggotanya mengerti seluk beluk masyarakatnya, (5) kehidupan material yang layak karena orang mengerti bagaimana mencari kehidupan itu.


Hubungan individu dan masyarakat dalam Indonesia merdeka seperti yang dimaksud Prof. Supomo dapat diperhatikan dalam rumusan Proklamasi Kemerdekaan RI, Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN. Dalam Proklamasi dirumuskan: Kami bangsa Indonesia dengan mi menyatakan kemerdekaannya. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Atas nama bangsa Indonesia. Sukarno Hatta. (Nugroho Notosusanto, 1983, p. 17). Penggunaan kata kami dan atas nama bangsa Indonesia menunjukkan bahwa negara yang dikemer dekaan itu untuk semua warga bangsa Indonesia, bukan untuk Sukarno maupun Hatta. Hal ini berarti bahwa kemerdekaan untuk seluruh bangsa Indonesia diperjuangkan oleh masing-masing warga bangsa Indonesia. Jadi individu dan masyarakat terinntegrasi untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemederkaan Indonesia. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Pada alinea kedua dinyatakan bahwa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah mengantarkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pada alinea yang ketiga atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan yang luhur supaya berkebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada alinea keempat dinyatakan bahwa pemerintahan negara Indonesia yang dibentuk adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa kepentingan yang diperjuangkan adalah masyarakat secara keseluruhan dan individu-individu sebagai warga bangsa secara perseorangan.


Perhatian terhadap masyarakat dan individu dapat dijumpai pada pasal-pasal dalam UUD 1945 seperti pasal 30 yang mengatur hak dan kewajiban warga negara untuk membela negara, pasal 31 yang mengatur hak dan kewajiban tentang pengajaran bagi tiap-tiap warga negara dan pemerintah, pasal 33 yang mengatur tentang (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) bumi dan air dan kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat, pasal 34 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Dalam pasal 27 dijelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 menyatakan tiap-tiap warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang. Pasal 29 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pada pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dan kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Jika pasal demi pasal tersebut di atas diperhatikan maka jelas bahwa individu dan masyarakat diberi kewajiban dan hak dalam mengejar kehidupan yang bahagia sejahtera.


Dalam Ketetapan MPR nomor II/MPR/l988 tentang tujuan pembangunan nasional dijelaskan bahwa pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara Kesatauan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Dan pemyataan ini dapat diketahui bahwa kepentingan individu dan kepentingan bersama-sama mendapat perhatian dan diberi tempat yang sama dalam menciptakan kehidupan yang bahagia sejahtera.
Berdasarkan ketetapan MPR NO. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dijelaskan tentang Pandangan Pancasila terhadap hubungan individu dan masyarakat bahwa. kebahagian manusia akan tercapai jika dapat dikembangkan hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang antara manusia dan masyarakat. Hubungan sosial yang selarasdan serasi, selaras dan seimbang itu antara individu dan masyarakat itu tidak netral, tetapi dijiwai oleh nilai-nilal yang terkandung dalam lima sila dalam Pancasila secara kesatuan.


Dan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan integralisme ini tidak lain adalah pandangan Pancasila yang memandang hubungan individu dan masyarakat itu secara serasi selaras dan seimbang dalam menciptakan manusia yang sejahtera dan bahagia lahir batin, dunia dan akhirat.
Manusia, Hidup dan Kematian

Manusia Hidup dan Kematian
A. Hidup
1. Pengertian Hidup
Pengertian hidup yg beragam
Kalau kita browsing untuk mengetahui opini orang2 tentang pengertian hidup … … ampuuun banyak yg bingung dan tak menentu arahnya. Ada yang pengertian hidup jomblo itu susah – mau hidup merit bingung, pengertian hidup untuk uang – uang untuk hidup, pengertian hidup itu u/ dinikmati – tapi pas sakit bingung, bahkan tidak sedikit yg hidupnya hampa walau sudah banyak yg dimilikinya…
Pengertian hidup semu
Kenapa sampai kita bingung akan pengertian hidup? Banyak alasannya, tapi ada satu persamaan, kencenderungan kita untuk menggunakan pikiran kita sendiri akan pengertian hidup itu untuk apa.
Begitu mengambil kesimpulan sendiri akan pengertian hidup itu u/ apa, lahirlah harapan, standar penilaian, sudut pandang, bagaimana melihat hidup ini …. …. Dan lebih parah lagi, diyakininya sebagai kebenaran yg mutlak ( sikap pikiran “aku benar” )
Tapi pas dihadapkan di realita, gubrak!! Terjadi ketidak sesuaian, dan timbulah kebingungan dan kekecewaan. Besar kekecewaan itu tergantung seberapa jauh jarak antara realita dan harapan kita. Semakin jauh ya semakin frustrasi saja tentunya.
Pengertian hidup berdasarkan prinsip alam.
Orang orang yg memiliki pengertian hidup berdasarkan prinsip alam kehidupan yg ada cenderung bahagia. Mereka paham bahwa semakin mereka hidup selaras dgn sistem kehidupan yg universal, semakin makmur dan bahagialah mereka.
Pengertian hidup sukses, hukum kepemimpinan, sebab akibat, hukum daya tarik, sikap positif, peremajaan sikap dan seterusnya, merupakan hal penting bagi orang2 ini untuk di pelihara dan di lakukan.
2. Pengertian Hidup Menrut Al-Quran
Masa hidup manusia terbagi dua (QS 40/11), hidup pertama adalah di dunia kini dan hidup kedua berlaku di akhirat. Kedua macam hidup berlaku dalam keadaan konkrit.
Berbagai macam ajaran mengenai hakekat hidup dan tujuan hidup telah berkembang. Masing-masing berbeda tentang pengertian dan tujuan hidup. Hanya Al Qur’an lah yang dapat menjelaskan arti dan tujuan hidup manusia secukupnya sehingga dapat dipahami oleh setiap individu yang membutuhkannya.
Orang atheis mendasarkan doktrinnya atas teori naturalism tidak dapat memberikan alasan kenapa adanya hidup kini, kecuali sebagai kelanjutan dari hukum evolusi pada setiap benda yang sejak dulu telah mengalami perubahan alamiah. Sementara mereka berbantahan pula mengenai hukum evolusi itu sendiri disebabkan banyaknya benturan (dead lock) dalam analysa dan teorinya.
Benturan itu mereka namakan Missing Link. Untuk tujuan hidup mereka juga tidak mempunyai arah dan alasan yang tepat. Tetapi mereka semua sama berpendapat bahwa yang ada kini akan musnah dengan sendirinya di ujung zaman sesuai dengan menusut dan habisnya alat kebutuhan hidup dan disebabkan terganggunggunya stabilitas susunan bintang di alam semesta.
Mereka berkesimpulan bahwa hidup kini dimulai dari kekosongan, telah terwujud secara alamiah, dan sedang menuju ke arah kekosongan alam semesta dimana setiap individu hilang berlalu tanpa bekas dan tidak akan hidup kembali.
Dalam hal ini mereka melupakan unsur Roh yang ada pada setiap individu.
Pihakyang menganut paham Plurality atau Trinity, walaupun tidak membenarkan teori evolusi , malah mengakui manusia ini memulai hidupnya dari satu diri yang sengaja diciptakan Tuhan, tetapi mereka tdak dapat memberikan alasan tentang maksud apa yang terkandung dalam perencanaan penciptaan itu. Sebagai tujuan hidup, mereka sama sependapat bahwa nanti akan berlaku kehidupan balasan sesudah mati, tetapi dalam kedaan gaib bukan konkrit, dimana setiap pribadi baik akan menerima kebahagiaan jiwa dan pribadi jahat akan merana.
Pihak pertama di atas tadi bertntangan dengan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal hidup dan juga bertentangan mengenai tujuan hidup, sedangkan pihak kedua bersamaan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal usul hidup juga bersamaan tentang tujuan hidup tetapi berbeda dalam hal ghaib dan konkrit. Sebaliknya kedua pihak (Islam dan Plurality/Trinity) sependapat tentang arti hidup yang tidak lain hanyalah berjuang untuk kebutuhan dan kelanjutan generasi, tetapi mereka (Plurality/Trinity) melupakan bahwa pendapat demikian akan berujung dengan pemusnahan generasi mendatang karena setiap individu lebih mementingkan keadaan sekarang tanpa ancaman resiko konkrit yang akan dihadapi di akhirat nanti.
Al Qur’an yang menjadi dasar ajaran hidup dalam Islam, memberikan alasan dan keterangan secukupnya mengenai sebab, arti dan tujuan hidup manusia.
A. Sebab adanya hidup
Semesta raya ini dulunya dari kekosongan total, tidak satupun yang ada kecuali Allah yang ESA yang senantiasa dalam keadaan ghaib. DIA mempunyai maksud agar berlaku penyembahan terhadapNYA yang tentu harus dilaksanakan oleh makhluk yang memiliki logika Maka perlulah diciptakan jin dan manusia yang akan menjalani ujian dimana dapat ditentukan berlakunya pengabdian dimaksud. Kedua macam makhluk ini membutuhkan tempat hidup dimana segala kebutuhan dalam pengujian tersedia secara alamiah atau ilmiah, maka diciptakanlah benda angkasa berbagai bentuk, masa dan fungsi. Semuanya terlaksana secara logis menurut rencana tepat, dan tiba masanya dimulai penciptaan Jin dan Manusia, masing-masing berbeda di segi abstrak dan konkrit.
Allah itu Pencipta tiap sesuatu dan DIA menjaga tiap sesuatu itu. (QS 39/62)
DIA pelaksana bagi apa yang DIA inginkan. (QS 85/16)
Dan tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia itu kecuali untuk menyembah AKU (di akhirat utamanya). QS 51/96.
B. Arti Hidup KINI
Al Qur’an memberikan ajaran tentang arti hidup bahwa hendaklah menghubungkan dirinya secara langsung kepada Allah dengan cara melaksanakan hukum-hukum tertulis dalam al quran, dan menghubungkan dirinya pada masyarakat sesamanya dalam melaksanakan tugas amar makhruf nahi munkar.
DIAlah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar DIA menguji kamu yang mana diantara kamu yang lebih baik perbuatannya, dan DIA Mulia dan Pengampun. (QS 67/2)
Bahwa Kami menunjukkan garis hukum padanya (manusia itu), terserah padanya untuk bersyukur atau kafir. (QS 76/3)
C. Tujuan hidup
Al Qur’an menjelaskan bahwa kehidupan kini bukanlah akan berlalu tanpa akibat tetapi berlangsung dengan catatan atas semua gerak zahir dan batin yang menentukan nilai setiap indivisu untuk kehidupan konkrit nantinya di alam akhirat, dimana kehidupan terpisah antara yang beriman dan yang kafir untuk selamanya.
Dan berlombalah kepada keampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya sama dengan luas planet-planet dan Bumi ini, dijanjikan untuk para muttaqien. (QS 3/133)
Sungguh kami ciptakan manusia itu pada perwujudan yang lebih baik. Kemudian kami tempatkan dia kepada kerendahan yang lebih rendah. Kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh, maka untuk mereka upah yang terhingga. QS 95/4-6)
Dengan keterangan singkat ini, jelaslah bahwa Al Qur’an bukan saja menjelaskan kenapa adanya hidup kini, tetapi juga memberikan arti hidup serta tujuannya yang harus dicapai oleh setiap diri.
Keterangan Al Qur’an seperti demikian dapat diterima akal sehat dan memang hanyalah kitab suci itulah yang mungkin memberikan penjelasan demikian.
B. Mati
1. Pengertian Mati beserta Menurut Al-Quran
Pengertian hidup menurut bahasa Arab adalah kebalikan dari mati (naqiidlul maut). Tanda-tanda kehidupan nampak dengan adanya kesadaran, kehendak, penginderaan, gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan akan makanan.
Sedang pengertian mati dalam bahasa Arab adalah kebalikan dari hidup (naqiidlul hayah). Dalam kitab Lisanul Arab dikatakan :
“Mati adalah kebalikan dari hidup.”
Jadi selama arti mati adalah kebalikan dari hidup, maka tanda-tanda kematian berarti merupakan kebalikan dari tanda-tanda kehidupan, yang nampak dengan hilangnya kesadaran dan kehendak, tiadanya penginderaan, gerak, dan pernapasan, serta berhentinya pertumbuhan dan kebutuhan akan makanan.
Ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa manusia akan mati ketika ruhnya (nyawanya) ditahan dan ketika jiwanya dipegang oleh Allah SWT Sang Pencipta. Allah SWT berfirman :
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya jika ruh sedang dicabut, maka mata akan mengikutinya…”
Perlu dipahami bahwa tidak ada yang mengetahui hakekat jiwa dan ruh tersebut kecuali Allah SWT. Demikian pula masalah pemegangan/pencabutan serta pengembalian ruh dan jiwa kepada Allah SWT selaku pencipta keduanya, termasuk dalam perkara ghaib yang berada di luar jangkauan eksperimen ilmiah. Yang dapat diamati hanyalah pengaruh-pengaruh fenomena tersebut dalam tubuh fisik manusia, berupa tanda-tanda yang menunjukkan terjadinya kematian.
Meskipun beberapa ayat dan hadits telah menunjukkan bahwa berhentinya kehidupan adalah dengan pencabutan ruh dan penahanan jiwa, akan tetapi ayat atau hadits seperti itu tidak menentukan titik waktu kapan terjadinya pencabutan ruh, penahanan jiwa, dan berhentinya kehidupan. Pemberitaan wahyu tentang hal tersebut, ialah bahwa ruh jika dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits di atas. Demikian pula terdapat keterangan dari sabda Rasulullah SAW :
“Jika kematian telah menghampiri kalian, maka pejamkanlah penglihatan kalian, sebab penglihatan akan mengikuti ruh (yang sedang dicabut)…” (HR. Ahmad, dari Syadad bin Aus RA)
Oleh karena itu, penentuan titik waktu berhentinya kehidupan berarti memerlukan penelaahaan terhadap manath (fakta yang menjadi objek penerapan hukum) pada seseorang yang akan ditetapkan telah mati dan telah berhenti kehidupannya. Penelaahan ini membutuhkan keahlian dan pengetahuan.
Sebelum ilmu-ilmu kedokteran maju dan sebelum adanya penelaahan organ tubuh secara teliti serta penemuan organ tubuh buatan, para dokter menganggap bahwa berhentinya jantung merupakan indikasi kematian manusia dan berhentinya kehidupannya. Namun kini mereka telah mengoreksi pendapat tersebut. Mereka kini mengatakan bahwa berhentinya detak jantung tidak selalu menunjukkan matinya manusia. Bahkan terkadang jantung sudah berhenti tetapi manusia tetap hidup. Begitu pula operasi jantung terbuka, mengharuskan penghentian jantung.
Mereka kini mengatakan bahwa indikator yang menunjukkan kematian seseorang dan berhentinya kehidupan padanya, adalah matinya batang otak (brain stem). Batang otak adalah semacam tangkai pada otak yang berbentuk penyangga atau tonggak, yang terletak pada pertengahan bagian akhir dari otak sebelah bawah, yang berhubungan dengan jaringan syaraf di leher. Di dalamnya terdapat jaringan syaraf yang jalin menjalin. Batang otak merupakan sirkuit yang menghubungkan otak dengan seluruh anggota tubuh dan dunia luar, yang berfungsi membawa stimulus penginderaan kepada otak dan membagikan seluruh respons yang dikeluarkan oleh otak untuk melaksanakan pesan-pesan otak.
Batang otak merupakan bagian otak yang berhenti berfungsi paling akhir, sebab matinya otak dan kulit/tutup otak terjadi sebelum matinya batang otak. Jika batang otak mati, matilah manusia dan berakhirlah kehidupannya secara total, meskipun jantungnya masih berdenyut, kedua paru-parunya masih bernapas seperti biasa, dan organ-organ lain masih berfungsi. Terkadang kematian batang otak terjadi sebelum berhentinya jantung, misalnya bila ada pukulan langsung pada otak, atau gegar otak, atau pemotongan batang otak. Dalam keadaan sakit, berhenti dan matinya jantung seseorang terjadi sebelum berhenti dan matinya otak.
Ada beberapa peristiwa yang membingungkan para dokter. Pernah tercatat ada otak yang sudah tak berfungsi, tetapi organ-organ tubuh lainnya masih berfungsi. Telah diberitakan ada seorang wanita Finlandia yang dapat melahirkan seorang bayi, padahal dia telah mengalami koma total selama dua setengah bulan. Wanita tersebut koma karena benturan yang mengakibatkan gegar otak. Tapi anehnya, wanita itu baru meninggal dua hari setelah dia melahirkan bayinya. Dalam keadaan komanya, dia bernapas dengan alat pernapasan, diberi makan lewat tabung, dan diganti darahnya setiap minggu selama 10 minggu. Bayi yang dilahirkannya dalam keadaan sehat dan normal.
Demikian pendapat para dokter. Adapun para fuqaha, mereka tidak memutuskan terjadinya kematian, kecuali setelah adanya keyakinan akan datangnya kematian pada seseorang. Mereka telah menyebut tanda-tanda yang dijadikan bukti-bukti adanya kematian, di antaranya: nafas berhenti, mulut terbuka, mata terbelalak, pelipis cekung, hidung menguncup, pergelangan tangan merenggang, dan kedua telapak kaki lemas sehingga tidak dapat ditekuk ke atas.
Jika muncul keraguan (syak) akan kematian seseorang, misalnya jika jantungnya berhenti berdetak, atau pingsan, atau dalam keadaan koma total karena sesuatu sebab, maka dalam hal ini wajib menunggu untuk memastikan kematiannya. Kepastian kematiannya nampak dari adanya tanda-tanda kematian atau adanya perubahan bau dari orang tersebut.
Adapun hukum syara’ yang lebih kuat (raajih) dan menjadi dugaan kuat kami, ialah bahwa seseorang tidak dihukumi mati kecuali setelah ada keyakinan akan kematiannya, dengan adanya tanda-tanda yang menunjukkan kematian sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha.
Kami berpendapat demikian karena kehidupan pada manusia adalah sesuatu yang diyakini adanya, dan tidak dihukumi telah hilang kecuali dengan suatu alasan yang yakin pula. Hilangnya kehidupan tidak boleh dihukumi dengan alasan yang meragukan (syak), sebab sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan keberadaannya dengan alasan yang meragukan. Begitu pula hilangnya kehidupan tidak dapat diputuskan dengan alasan yang meragukan, karena prinsip asal untuk menentukan keberadaan sesuatu adalah tetapnya apa yang ada pada sesuatu yang sudah ada, sampai ada suatu alasan yang membatalkan keberadaannya secara yakin. Perlu diingat pula bahwa kematian adalah kebalikan dari kehidupan, sehingga harus nampak tanda-tanda yang berkebalikan dari tanda-tanda kehidupan, seperti hilangnya akal, kesadaran, dan penginderaan, berhentinya nafas, serta tidak adanya kebutuhan akan makanan.
Atas dasar ini, maka pendapat para dokter bahwa matinya batang otak adalah tanda matinya manusia dan berhentinya kehidupannya secara medis, tidaklah sesuai dengan hukum syara’. Tidak berfungsinya batang otak dan seluruh organ tubuh yang vital –seperti jantung, paru-paru, hati– tidak dapat menjadi indikator kematian seseorang menurut hukum syara’. Yang menjadi indikator, adalah bila seluruh organ tubuh vital tidak berfungsi lagi, disertai dengan hilangnya seluruh tanda- tanda kehidupan pada seluruh seluruh organ-organ tersebut.
Terhadap orang yang batang otaknya telah mati, dengan sebagian organ tubuh vitalnya yang masih berfungsi –yang menurut para dokter telah dianggap mati menurut ilmu kedokteran– begitu pula seseorang yang ada dalam sakaratul maut –yang disebut para fuqaha, telah sampai pada keadaan “gerakan binatang yang disembelih”/harakatul madzbuh– yang tidak mampu lagi untuk melihat, berbicara, bergerak dengan sadar, serta sudah tidak mungkin lagi melanjutkan kehidupannya, maka dalam hal ini ada beberapa hukum syara’ yang berlaku padanya. Hukum yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. Orang tersebut tidak boleh mewarisi harta orang lain, dan tidak boleh pula mewariskan harta kepada orang lain, sementara dia masih dalam keadaan tersebut. Bahwa dia tidak mewarisi harta orang lain, karena dia telah kehilangan kehidupannya yang tetap, yang ditandai dengan adanya kesadaran, gerakan, dan kehendak. Sedang syarat untuk ahli waris supaya dapat menerima harta warisan, ialah bahwa dalam jiwanya harus terdapat kehidupan yang tetap. Namun demikian, dalam keadaan seperti ini harta warisan tidak dibagi sampai orang tersebut diyakini telah mati.
Maka dari itu, janin tidak dapat mewarisi kecuali jika dia telah lahir dan mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan adanya kehidupan yang tetap padanya, seperti adanya tangisan saat bayi lahir, atau dia telah menguap. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Al Musawwir bin Makhramah RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda :
“Anak kecil (bayi) tidak berhak mewarisi (harta warisan) hingga dia menangis dengan keras.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun bahwa dia tidak dapat mewariskan, dan juga harta warisannya tidak boleh dibagi jika dia dalam keadaan seperti ini, karena syarat pemindahan kepemilikan harta dari pewaris kepada ahli warisnya, ialah adanya keyakinan akan kematian pewaris. Orang yang batang otaknya telah mati, sementara sebagian organ vitalnya masih berfungsi, atau orang yang berada dalam sakaratul maut dan sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), sebenarnya masih mempunyai sebagian tanda kehidupan. Kematiannya belum dapat diyakini. Karenanya, harta warisannya tidak boleh dibagikan, kecuali setelah adanya keyakinan akan kematiannya.
2. Tindakan Kriminal Terhadapnya :
(a). Jika seseorang melakukan tindakan kriminal atas orang lain, lalu memotong batang otak orang tersebut, atau membuatnya berada dalam sakaratul maut, dan sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), serta bisa dipastikan bahwa dia akan mati dan tak akan pernah hidup lagi, kemudian datang orang kedua yang melanjutkan tindakan kriminal itu, maka yang dianggap pembunuh adalah orang pertama tadi. Sebab, dialah yang telah membuat korban menjadi tidak mungkin lagi melanjutkan kehidupannya. Karena itu, orang pertama itulah yang diqishash dan dihukum mati karena telah membunuh korban. Adapun orang kedua, dia tidak dianggap sebagai pembunuh. Dia tidak diqishash, dan tidak dihukum mati karena membunuh korban, tetapi dikenai sanksi berupa ta’zir, sebab dia telah melakukan pelanggaran terhadap kehormatan orang lain.
Tapi kalau orang pertama tadi tidak membuat korban sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), serta hanya melukainya sampai luka berat, sementara pada diri korban masih ada kehidupan yang tetap –ditandai dengan adanya kesadaran, penginderaan, gerakan sadar– lalu datang orang kedua dan membunuhnya, maka dalam hal ini orang kedualah yang dianggap sebagai pembunuh. Dia wajib diqishash dan dihukum mati karena membunuh orang tersebut. Adapun orang pertama, tidak dianggap pembunuh. Dia dikenai sanksi karena melanggar kehormatan orang lain. Dia wajib membayar diyat sesuai organ tubuh yang dirusak dari organ korban yang dianiaya.
(b). Jika orang yang dianiaya adalah seorang khalifah, atau orang yang dalam sakaratul maut/sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh) adalah seorang khalifah, maka dalam hal ini tidak boleh diangkat khalifah lain untuk menggantikannya, kecuali setelah dipastikan kematiannya. Hal ini seperti yang pernah terjadi pada masa shahabat –radliyallahu ‘anhum– yaitu peristiwa yang terjadi pada Abu Bakar dan Umar. Para shahabat tidak membai’at Umar, kecuali setelah mereka yakin akan kematian Abu Bakar. Begitu pula para Ahlusy Syura (enam orang shahabat yang ditunjuk Umar untuk bermusyawarah memilih khalifah) tidak melakukan pemilihan khalifah kecuali setelah mereka yakin akan kematian Umar. Adapun bila khalifah dalam keadaan sakaratul maut, atau sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), maka dia berhak –jika umat memintanya– untuk menunjuk penggantinya, dan dia mampu untuk melakukan penunjukan pengganti.
HUBUNGAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Banyak para ahil telah memberikan pengertian tentang masyarakat. Smith, Stanley dan Shores mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kelompok individu-individu yang terorganisasi serta berfikir tentatang diri mereka sendiri sebagai suatu kelompok yang berbeda. (Smith, Stanley, Shores, 1950, p. 5).


Dari pengertian tersebut di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa masyarakat itu kelompok yang terorganisasi dan masyarakat itu suatu kelompok yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok yang lain. Oleh karena itu orang yang berjalan bersama-sama atau duduk bersama-sama yang tidak terorganisasi bukanlah masyarakat. Kelompok yang tidak berpikir tentang kelompoknya sebagai suatu kelompok bukanlah masyarakat. Oleh karena itu kelompok burung yang terbang bersama dan semut yang berbaris rapi bukanlah masyarakat dalam arti yang sebenarnya sebab mereka berkelompok hanya berdasarkan naluri saja


Znaniecki menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang meliputi unit biofisik para individu yang bertempat tinggal pada suatu daerah geografis tertentu selama periiode waktu tertentu dari suatu generasi. Dalam sosiology suatu masyarakat dibentuk hanya dalam kesejajaran kedudukan yang diterapkan dalam suatu organisasi. (F Znaniecki, 1950, p. 145),


Jika kita bandingkan dua pendapat tersebut di atas tampak bahwa pendapat Znaniecki tersebut memunculkan unsur baru dalam pengertian masyarakat yaitu masyarakat itu suatu kelompok yang telah bertempat tinggal pada suatu daerah tertentu dalam lingkungan geografis tertentu dan kelompok itu merupakan suatu sistem biofisik. Oleh karena itu masyarakat bukanlah kelompok yang berkumpul secara mekanis akan tetapi berkumpul secara sistemik. Manusia yang satu dengan yang lain saling memberi, manusia dengan lingkungannya selain menerima dan saling memberi. Konsep ini dipengaruhi oleh konsep pandangan ekologis terhadap satwa sekalian alam.


Parson menjelaskan bahwa suatu sistem sosial di mana semua fungsi prasyarat yang bersumber dan dalam dirinya sendiri bertemu secara ajeg (tetap) disebut masyarakat. Sistem sosial terdiri dari pluralitas prilaku-pnilaku perseorangan yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu lingkungan fsik. Jika masing masing individu ini berinteraksi dalam waktu yang lama dari generasi ke generasi dan terjadi pada proses sosialisasi pada generasi tersebut maka aspek ini akan menjadi aspek yang penting dalam sistem sosial. Dalam berintegrasi dan bersosialisasi ini kelompok tersebut mempergunakan kerangka acuan pendidikan.


Dari berbagai pendapat tersebut di atas maka W F Connell (1972, p. 68-69) menyimpulkan bahwa masyarakat adalah (1) suatu kelompok orang yang berpikir tentang diri mereka sendiri sebagai kelompok yang berbeda, diorganisasi, sebagai kelompok yang diorganisasi secara tetap untuk waktu yang lama dalam rintang kehidupan seseorang secara terbuka dan bekerja pada daerah geografls tertentu, (2) kelompok orang yang mencari penghidupan secara berkelompok, sampai turun temurun dan mensosialkan anggota anggotanya melalui pendidikan, (3) suatu ke orang yang mempunyai sistem kekerabatan yang terorganisasi yang mengikat anggota-anggotanya secara bersama dalam keselurühan yang terorganisasi.


Pendapat tersebut di atas tidak berbeda dengan pendapat Liton yang dikutip oleh Indan Encang (1982, p.14) yang menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tartentu.


Pengertian masyarakat tersebut di atas merupakan pengertian yang sangat luas. Penduduk Indonesia sebagai masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut:

Penduduk yang berpikir tentang dirinya sendiri sebagai suatu kelompok yang berbeda dengan kelompok penduduk pada suatu masyarakat lain seperti penduduk Singapura, kelompok Jawa, Sunda, Banjar, Maluku, Sasak merupakan kelompok bagian dari penduduk Indonesia.

Penduduk Indonesia ini secara relatif mencukupi kebutuhan diri sendiri sebagai suatu kelompok yaitu mencukupi kehidupannya dalam masyarakatnya terutama dengan bercocok tanam yang ditopang dengan perindustrian.

Penduduk Indonesia telah ada sebagai kelompok sosial yang diakui pada periode waktu yang lama sampai sekarang, yaitu sejak Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Mereka hidup dan bekerja dalam beribu-ribu pulau besar dan kecil yang terletak di daerah geografis antara Samudera India dan Samudra Pasifik antara benua Asia dan Australia.

Pengarahan anggota dari masyarakat Indonesia ini melalui unit-unit keluarga yang kecil seperti kelompok-kelompok etnik dan keluarga merupakan kelompok yang terkecil.

Sosialisasi anak-anak melalui sekolah terutama pada anak-anak umur empat atau lima tahun sampai 18 tahun baik melalui sekolah negeri maupun swasta baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.

Masyarakat Indonesia ini mengikat anggota-anggotanya melalui sistem yang digeneralisasikan dan suatu kekerabatan. Sistem ini didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, dalam kehidupan sosial politik, kehidupan ekonomi dan lapangan kehidupan yang lain. Ikatan yang paling kuat adalah adanya satu pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan dasar hukum nasional yang satu yaitu UUD 1945.

Pengertian individu :

Dalam ilmu sosial individu merupakan bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang tidak dapat dipisah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Umpama keluarga sebagai kelompok sosial yang terkecil terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah merupakan individu yang sudah tidak dapat dibagi lagi, demikian pula Ibu. Anak masih dapat dibagi sebab dalam suatu keluarga jumlah anak dapat lebih dari satu.



Hubungan individu dan masyarakat secara umum :

Hubungan antara individu dan masyarakat telah lama dibicarakan orang. Soeyono Soekanto (1981, p.4) menyatakan bahwa sejak Plato pada zaman Yunani Kuno telah ditelaah tentang hubungan individu dengan masyarakat. K. J. Veerger (1986, p. 10) lebih lanjut menjelaskah bahwa pembahasan tentang hubung individu dan masyarakat telah dibahas sejak Socrates guru Plato.


Hubungan antara individu dan masyarakat telah.banyak disoroti oleh para ahli baik para filsuf maupun para ilmuan sosial. Berbagai pandangan itu pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam tiga pendapat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa (1) masyarakat yang menentukan individu, (2) individu yang menentuk masyarakat, dan (3) idividu dan masyarakat saling menentukan.


Pandangan yang pertama terhadap hubungan antara masyarakat dan individu didasarkan bahwa masyarakat itu mempunyai suatu realitas tersendini. Masyarakat yang penting dan Individu itu hidup untuk masyarakat. Pandangan ini berakar pada realisme yaitu suatu aliran filsafat yang mengatakan bahwa konsep-konsep umum seperti manusia binatang, pohon, keadaan, keindahan dan sebagainya itu mewakili realita luar diri yang memikirkan mereka. Jadi di luar manusia yang sedang berpikir ada suatu realitas tertentu yang bersifat umum. Oleh karena itu berlaku secara umum dan tidak terikat oleh yang satu persatu. Jika mengatakan manusia itu makhluk jasmani dan rohani, maka kita membicarakan setiap manusia terlepas dan manusia yang manapun dan di manapun. Konsekuensi dari pendapat itu maka masyarakat itu merupakan suatu realitas. Masyarakat memiliki realitas tersendiri dan tidak terikat oleh unsur yang lain dan yang berlaku umum. Masyarakat yang dipindahkan oleh seseorang itu berada di luar orang yang berpikir tentang masyarakat itu sendiri. Sebelum individu ada masyarakat yang dipikirkan itu telah ada. Oleh karena itu masyarakat itu tidak terikat pada individu yang memikirkannya. Menurut K J Veerger (1986) ada tiga pandangan yang memandang masyarakat sebagai suatu realitas yaitu pandangan holistis, organis dan kolektivitis.


Pandangan holisme terhadap hubungan individu dan masyarakat. Istilah holisme berasal dan bahasa Yunani, Holos yang berarti keseluruhan. Holisme memandang secara berlebihan terhadap totalitas (keseluruhan) path kesatuan kehidupan manusia dengan mengingkari adanya perbedaan di antara manusia. Keseluruhan dipandang sebagai sesuatu hal yang melebihi dari bagian-bagian. Pandangan yang bersifat holistis ini tampak pada pandangan Aguste Comte (1798 - 1853). Menurut Aguste Comte masyarakat dilihat suatu kesatuan di mana dalam bentuk dan arahnya tidak tergantung pada inisiatif bebas anggotanya, melainkan pada proses spontan otomatis perkembangan akal budi manusia. Akal budi dan cara orang berpikir berkembang dengan sendirinya. Prosesnya berlangsung secara bertahap, merupakan proses alam yang tak terelakkan dan tak terhentikan. Perkembangan ini dikuasal Oleh hukum universal yang berlaku bagi semua orang di manapun dan kapanpun Dan pandangan Comte in dapat diketahui bahwa umat manusia itu dipandang sebagai suatu keseluruhan, individu merupakan bagian-bagian yang hidup untuk kepentingan keseluruhan.


Pandangan organisme terhadap hubungan antara individu dan masyarakat. Organisme suatu aliran yang berpendapat bahwa masyarakat itu berevolusi atau berkembang berdasarkan suatu pninsip intrinsik di dalani dirinya sama seperti halnya dengan tiap-tiap organisme atau makhluk hidup. Prinsip perkembangan ini berperan dengan lepas bebas dari kesadaran dan kemauan anggota masyarakat.


Pandangan hubungan antara individu dan masyarakat sesuai dengan konsep organisme muncul dari Herbart Spencer (1985) diringkas oleh Margaret H Poloma (1979) sebagai berikut:

Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan.

Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula, dimana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar Binatang yang lebih kecil, misalnya cacing tanah, hanya sedikit memiliki bagian-bagian yang dapat dibedakan bila dibanding dengan makhluk yang lebih sempurna, misalnya manusia.

Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organissme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu: “mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula”. Pada manusia, hati memiliki struktur dan fungsi yang berbeda dengan paru-paru; demikian juga dengan keluarga sebagai struktur institusional memiliki tujuan yang berbeda dengan sistem politik atau alconomi.

Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan. Perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga, pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama lain.

Bagian-bagian tersebut, walau saling berkaitan, merupakan suatu struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan media, seperti halnya sistem politik atau sistern ekonomi merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi.

Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa menurut Spencer masyarakat dipandang sebagai organisme hidup yang alamiah dan deterministis (bebas). Semua gejala sosial diterangkan berdasarkan hukum alam. Hukum yang mengatur pertumbuhan fisik tubuh manusla juga mcngatur pertumbuhan sosial. Manusia sebagai individu tidak bebas dalam menentukan arah pertumbuhan masyarakat. Manusia sebagai individu justru ditentukan oleh masyarakat dalam pertumbuhannya. Masyarakat berdiri sendiri dan berkembang bebas dari kemauan dan tanggung ja anggotanya di bawah kuasa hukum alam.


Hubungan individu dan masyarakat berdasarkan kolektivisme. Menurut pandangan kolektif masyarakat mempunyai realitas yang kuat. Segala sesuatu kepentingan individu ditentukan oleh masyarakat. Masyarakat mengatur secara seragam untuk kepentingan kolektif.


Menurut Peter Jarvis (1986) yang dikutip oleh DR Wuradji MS (1988) Karl Mark, Bowles, Wailer dan Illich tokoh paham kolektif yang berpendapat bahwa individu tidak mempunyai kebebasan, kebebasan pribadi dibatasi oleh kelompok elite (kelompok atas yang berkuasa) dengan mengatas namakan rakyat banyak.


Konsep masyarakat kolektif ini diterapkan pada paham totalitas di negara-negara komunis seperti RRC. Di dalam negara komunis individu tidak mempunyai hak untuk mengatur kepentingan diari sendiri, segala kebutuban diatur oleh negara. Negara diperintah oleh satu partai politik komunis. Dalam negara komunis ini makan, pakaian, perumahan dan kerja diatur oleh negara, individu tidak punya pilihan lain kecuali yang telah ditentukan oleh negara. Semua hak milik individu seperti yang dimiliki orang-orang atau keluarga di negara kita ini tidak ada.


Hubungan individu dan masyarakat menurut paham individualistis. Individualisme suatu paham yang menyatakan bahwa dalam kehidupan seorang individu kepentingan dan kebutuhan individu yang lebih penting dan pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Individu yang menentukan corak masyarakat yang dinginkan. Masyarakat harus melayani kepentmgan individu. Individu mempunyai hak yang mutlak dan tidak boleh dirampas oleh masyarakat demi kepentingan umum.


Paham individualisme juga disebut Atomisme. Atomisme berpendapat bahwa hubungan antara individu itu seperti hubungan antar atom-atom yang membentuk molekul-molekul. Oleh karena itu hubungan in bersifat lahiriah. Bukan kesatuan yang penting tetapi keaneka ragaman yang penting dalam masyarakat.


Pandangan individualistis ini yang otomistis ini berakar pada nominalisme suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa konsep-konsep umum itu tidak mewakili realitas dari sesuatu hal. Yang menjadi realitas itu individu. Realitas masyarakat itu ada karena individu itu ada. Jika individu tidak ada maka masyarakat itu tidak ada. Jadi adanya individu itu tidak tergantung pada adanya masyarakat.


J.J. Rousseau (1712-1778) dalam bukunya "kotrak sosial" menjelaskan paham liberalisme dan individualisme dalam satu kalimat yang terkenal: “Manusia itu dilahirkan merdeka, tetapi di mana-mana dibelenggu” (Driarkara SY, 1964, p. 109). Manusia itu bebas (merdeka) dan hidup pada lingkungan sekitar dan sesamanya. Hidup dalam lingkungan tertutup dari lingkungan dan sesamanya itu manusia merasa bahagia. Masyarakat hanya merupakan suatu kumpulan atau jumlah orang yang secara kebetulan saja berkumpul pada suatu tempat seperti butli-butir pasir tersebut di atas. Tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Masyarakat terbina karena orang-orang yang kebetulan tidak berhubungan satu sama lain itu berhubungan disebabkan oleh adanya suatu kebutuhan, sehingga masing-masing individu itu mengadakan kontrak sosial untuk hidup bersama. Bentuk kerja sama dalam hidup bersama itu dibatasi oleh kebutuhan masing-masing individu. Hanya sampai pada batas tertentu saja individu itu hidup dalam masyarakat. Makin banyak kebutuhan seorang yang dapat dtharapkan dari masyarakat maka hubungan dengan masyarakat makin erat, sebaliknya makin sedikit kebutuhannya dalam masyarakat makin renggang hubungannya dengan masyarakat.


Paham yang memandang hubungan antara individu dan masyarakat dari segi interaksi. Dari uraian tersebut di atas kita telah mengetahui paham totalisme dan individualisme yang masih berpijak pada satu kutub. Paham totalisme berpijak pada masyarakat, sebaliknya paham individualisme. Totalisme mengabaikan peranan individu dalam masyarakat sebaliknya, paham individualisme mengabaikan peranan masyarakat dalam kehidupan individu. Oleh karena itu kedua-duanya diliputi oleh kesalahan detotalisme. Pabam individu memandang manusia sebagal seorang individu itu sebagai segala-galanya di luar individu itu tidak ada. Jadi masyarakat pun pada dasarnya tidak ada yang ada hanya individu. Sebaliknya paham totalisme memandang masyarakat itu segala di luar masyarakat itu tidak ada. Jadi individu itu hanya ada jika masyarakat itu ada. Adanya individu itu terikat pada adanya masyarakat.


Paham yang ketiga ini memandang masyarakat sebagai proses di mana manusia sendiri mengusahakan kehidupan bersama mcnurut konsepsinya dengan bertanggung jawab atas hasilnya. Manusia tidak berada
di dalam masyarakat bagaikan burung di dalam kurungannya, melainkan ia bermasyarakat. Masyarakat bulcan wadah melainkan aksi, yaitu social action. Masyarakat terdiri dari sejumlab pengertian, perasaan, sikap, dan tindakan, yang tidak terbilang banyaknya. Orang berkontak dan berhubungan satu dengan yang lain menurut pola-pola sikap dan perilaku tertentu, yang entah dengan suka, entah terpaksa telah diterima oleh mereka. Umumnya dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang akan menyesuaikan kelakuan mereka dengan pola-pola itu. Seandainya tidak, hidup sebagai manusia menjadi mustahil. “Masyarakat sebagai proses” dapat dipandang dari dua segi yang dalam kenyataannya tidak dipisahkan satu dengan yang lain karena merupakan satu kesatuan. Pertama masyarakat dapat dipandang dari segi anggotanya yang membentuk, mendukung, menunjang dan meneruskan suatu pola kehidupan tertentu yang kita sebut masyarakat. Kedua masyarakat dapat ditinjau dari segi pengaruh struktumya atas anggotanya. Pengaruh ini sangat penting sehingga boleh dikatakan bahwa tanpa pengaruh ini manusia satu persatu tidak akan hidup. Marilah kita perhatikan bagaimana jika pengaruh masyarakat yang berupa kepemimpinan, bahasa, hukum, agama, keluarga, ekonomi, pertahanan, moralitas dan lain sebagainya. Tanpa itu semua manusia satu persatu tidak akan berdaya, ia akan jatuh ke dalam suatu keadaan, di mana-mana manusia tidak akan berdaya dan manusia akan hancur oleh kekuatan-kekuatan alam dan nalurinya sendin.


Hubungan individu-masyarakat yaitu bahwa hidup bermasyarakat adalah ciptaan dan usaha manusia sendiri. Manusia berkeluarga, ia berkelompok. Selalu membuat sesuatu dan berbuat. Keluarga, kelompok, masyarakat dan negara tidak merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri di luar. Mereka ada usaha manusia, yang terus dipertahankan, dipelihara, ditunjang, atau apabila perlu-diubahkan atau diganti oleh manusia. Mereka adalah bagian hidupnya. Mereka adalah bentuk perilaku yang tergantung dari dia. Hidup bermasyarakat yang diusahakan dan diciptakan sendiri, bertujuan untuk memungkinkan perkembangannya sebagai manusia. Sebab tanpa masyarakat tidak ada hidup individual yang manusiawi. Jadi manusia sekaligus membentuk dan dibentuk oleh hasil karyanya sendiri, yaitu masyarakat. Manusia tidak bebas dalam arti bahwa ia bebas memilih antara hidup sendiri atau hidup berbagai dengan orang lain. Ia harus hidup berbagai agar tidak hancur. Tetapi cara dan bentuk hidup berbagai itu ditentukannya dengan bebas. Tidak ada satu pola kebudayaan yang mutlak dan universal. Jadi ada relasi timbal balik antara individu. Di satu pihak individu ikut membentuk dan menegakkan masyarakat, dan ia bertanggungjawab. Di lain pihak masyarakat menghidupi individu dan oleh karenanya bersifat mengikat bagi dia.


Hubungan antara masyarakat dan individu dapat digambarkan sebagai kutub positif dan kutup negatif pada aliran listrik. Jika dua kutub itu dihubungkan listrik ia akan mampu memberi kekuatan baginya dan menimbulkan suasana yang cerah. Jika individu dan masyarakat dipersatukan maka kehidupan individu dan masyarakat akan lebih bergairah dan suasana kehidupan individu dan kehidupan masyarakat akan lebih bermakna dan hidup serta bergairrah.
Menemukan Makna Hidup

I. PENDAHULUAN
Pertanyaan tentang “makna hidup manusia” merupakan pertanyaan yang tidak pernah berhenti. Abad demi abad telah berlalu, generasi yang satu telah pergi dan muncullah generasi yang lain, tahun berganti tahun dan bulan terus bergerak maju, namun pertanyaan ini tetap eksis. Mengapa pertanyaan ini demikian penting? Pertanyaan ini penting karena menunjukkan 2 hal: (1) Eksistensi manusia itu sendiri; (2) Pengharapannya di masa yang akan datang. Kedua hal sangat ditentukan oleh perilaku dan hidup seseorang pada masa kini.
Memahami makna hidup manusia tidak akan lepas dari pertanyaan tentang tujuan hidup manusia. Kedua pertanyaan ini sangat berkaitan erat satu dengan yang lain. Apakah yang menjadi tujuan hidup manusia?. Setiap orang pasti memiliki jawaban tentang pertanyaan ini. Entah itu bersifat langsung (maksudnya: ketika pertanyaan ini ditanyakan, seseorang dapat menjawab secara langsung) atau tidak langsung (maksudnya: ketika pertanyaan ini ditanyakan, seseorang masih memikirkan jawabannya). Yang pasti jawaban setiap orang pasti berbeda, sesuai dengan filosofi hidupnya.
Sedikitnya ada 5 filosofi tentang hidup yang berusaha untuk menjawab pertanyaan tentang makna hidup manusia: (1) Ateisme; (2) Eksistensialisme; (3) Nihilisme; (4) Humanisme; (5) Positivisme; kemudian, sebagai suatu usulan dan perbandingan untuk menjawab “makna hidup manusia”, maka penulis mengusulkan pandangan Kristen tentang makna hidup manusia. Biarlah pembahasan ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca dan mendorong mereka untuk menemukan dan memutuskan filosofi hidup yang tepat untuk membangun hidup yang lebih baik dan memuliakan nama Allah Tritunggal.


II. FILSAFAT TENTANG HIDUP
Sebagaimana telah dituliskan bahwa setiap manusia memiliki filosofi tentang hidup. Filosofi inilah mendorong munculnya segala perilaku dan tindakan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Segala sesuatu yang dipikirkan seseorang mengenai hidup, yang ada di dalam pikirannya, akan teraplikasi di dalam perilaku dan tutur katanya. Semuanya ini berlangsung di dalam suatu proses hidup dalam kehidupan seseorang. Untuk memahami ini, ada baiknya memahami beberapa filsafat hidup yang berkaitan dengan topik yang dibahas:

1. Ateisme
Secara umum, ateisme dimengerti sebagai penolakan terhadap Allah. Para ateis tidak mau mengakui adanya Allah yang berkuasa di dalam alam semesta dan yang menciptakan segala sesuatu, termasuk hidup manusia. Para ateis tidak percaya, bahwa Allah mengatur segala sesuatu di dalam alam semesta sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Mereka juga menolak pandangan manusia diciptakan oleh Allah. Manusia hidup dan berkembang sesuai dengan naturnya, tanpa adanya campur tangan ilahi.
Ateisme meyakini pada pada mulanya alam semesta ini adalah satu dan Allah tidak ada di dalamnya. Dunia ini berevolusi dan membentuk bagian-bagiannya serta segala aturan yang menyertainya, demikian juga dengan manusia. Allah tidak menciptakan manusia, oleh karena itu manusia tidak dapat bergantung kepada Allah dan tidak membutuhkan Allah. Makna dan tujuan hidup manusia menurut para ateis adalah melakukan sesuatu sebagaimana yang diinginkan. Tidak peduli apakah itu baik atau buruk. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan aturan bagi dirinya sendiri (dengan kata lain: tidak mengikuti seluruh hukum, norma dan aturan yang berlaku baku – semua bergantung kepada penilaian pribadi).
Sebagai salah satu contoh: “pornografi, pornoaksi, selingkuh, perzinahan.” Bagi masyarakat, tindakan da perilaku seperti ini melanggar etika, norma dan hukum. Namun bagi para Ateis hal ini tidak dianggap sebagai “pelanggaran”, melainkan sebagai kesenangan pribadi dan keilamiahan hidup yang terjadi di dalam proses kehidupan seseorang, selama ia hidup di dunia.
Kelemahan dari Ateisme adalah (1) Ateisme bertentangan dengan fakta hakekat manusia, di mana sosiologi, antropologi dan psikologi telah menyatakan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan Allah atau suatu mahluk yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. (2) Ateisme tidak dapat menjelaskan soal nilai-nilai moral manusia.

2. Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan gerakan yang bersifat filosofis yang muncul di Jerman setelah perang dunia I dan berkembang di Perancis setelah perang dunia II. Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha untuk memfilsafatkan sesuatu dari sudut pandang pelakunya, di bandingkan cara tradisonal, yaitu dari sudut penelitinya. Eksistensialisme memberi perhatian terhadap masalah-masalah kehidupan manusia modern. Eksistensialisme menekankan tema eksistensi pribadi yang dibandingkan dengan eksistensi manusia secara umum, kemustahilan hidup dan pertanyaan untuk arti dan jaminan kebebasan manusia, pilihan dan kehendak, pribadi yang terisolasi, kegelisahan, rasa takut yang berlebihan dan kematian.
Kierkegaard seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang terkenal abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk melakukan itu. Jean-Paul Sartre filsuf lain dari Eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Tidak ada natur manusia, karena itu tidak ada Allah yang memiliki tentang konsepsi itu. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri.
Penekanan dari Eksistensialisme adalah bahwa seseorang dapat menilai dan menetukan sesuatu oleh tindakannya dan pilihannya sendiri (tidak bergantung dari standard moral yang berlaku baik secara tertulis ataupun secara lisan). Dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
Sebagai salah contoh dalam perilaku sehari-hari: “narkoba dan free sex.” Dalam masyarakat, jelas narkoba dan free sex itu adalah pelanggaran. Baik pilihan atau tindakan seseorang yang terlibat dalam narkoba dan free sex, itu jelas melanggar norma, moral dan hukum. Tidak ada masyarakat yang melegalkan semua tindakan ini. Namun bagi penganut eksistensialist bukan “narkoba dan free sex” yang menjadi problemnya, tetapi pilihan seseorang. Pilihan ini akan mendorong lahirnya tindakan seseorang. Jika seseorang menilai “narkoba dan free sex” itu adalah positif (maksudnya: mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri, membuat manusia melupakan segala problem hidupnya, membuat lapangan pekerjaan, karena banyaknya pengangguran, dlsb), maka “narkoba dan free sex” akan dilakukan. Akan tetapi sebaliknya jika hal ini dianggap negatif, maka itu tidak akan dilakukan. Yang jelas, pilihannya menjadi faktor penentu lahirnya tindakan seseorang.
Kelemahan dari eksistensialisme: (1) Eksistensialisme mengingkari fakta bahwa manusia harus hidup bersosialisasi dengan manusia lainnya dalam hubungan bermasyarakat; (2) standar moralitas (benar atau salahnya) perilaku seseorang dalam masyarakat, bukan ditentukan oleh pribadi seseorang, melainkan norma, aturan atau hukum yang menjadi kesepakatan di dalam masyarakat itu; (3) Eksistensialist mengabaikan nilai-nilai moralitas secara objektif.

3. Nihilisme
Nihilisme adalah paham yang dianut oleh filsuf Friederich Nietzsche and Camus. Nietzsche dianggap sebagai filsuf yang berpengaruh dalam paham ini. Secara umum, paham ini menolak adanya Allah yang berkuasa dalam menciptakan alam semesta dan berusaha untuk menghilangkan eksistensi dunia ini, secara khusus eksistensi manusia tentang makna, tujuan, kebenaran yang komprehensif dan nilai yang esensial. Paham ini menganggap bahwa manusia tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi melalui evolusi dari seekor kera. Paham ini percaya bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian, yang ada hanyalah hasrat untuk bertahan hidup.
Ada 2 argumentasi utama dari para Nihilist yang mendasari filsafatnya: (1) Bahwa Allah telah mati; (2) tidak mengakui eksistensi dari nilai(01). Dengan kedua argementasi ini, para Nihilist menolak tentang makna dan tujuan hidup manusia. Mottonya: Jika Allah telah mati, lakukanlah sesuatu yang anda kehendaki (= If God is dead, do whatever you please). umumnya para filsuf berpendapat sama, bahwa pandangan Nihilisme mirip (atau bahkan sama) dengan paham Ateis, yang menolak keberadaan Allah. Paham ini juga, memiliki kesamaan yang menekankan bahwa segala perilaku seseorang sangat bergantung kepada dirinya sendiri.
Kelemahan dari paham Nihilist adalah bahwa Nihilist tidak memiliki pertanggung jawaban secara moral untuk segala perilaku yang dilakukan, khususnya berkaitan dengan hal-hal negatif.

4. Humanisme
Humanisme merupakan suatu paham filsafat yang memiliki akar yang sama dengan Ateisme. Humanisme menganggap bahwa: (a) manusia sebagai individu rasional yang paling tinggi keberadaannya. (b) manusia sebagai sumber nilai terakhir. (c) mengutamakan perkembangan kreatifitas dan moralitas individu secara rasional dan menolak dihubungkan dengan sesuatu yang adikodrati. Humanisme memandang bahwa manusia sebagai ukuran atau kaidah dari segala sesuatu. Ini berarti menarik diri mundur dari Allah dan secara langsung dapat dikatakan, paham ini menolak Allah yang maha kuasa. Meskipun pada permulaannya, penganut paham ini adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah, namun mereka tidak sungguh-sungguh percaya kepada-Nya.
Di dalam sejarah filsafat, Protagoras seorang filsuf Yunani yang mengemukakan ide, bahwa manusia sebagai ukuran untuk segala sesuatu. Protagoras secara tidak langsung menolak adanya intervensi adikodrati. Pada sekitar abad ke-15 filsuf Italia, Giovanni Pico Della Mirandola, menekankan idenya tentang manusia humanis. Dia merumuskan: Di tengah dunia ini, Allah meletakkan manusia, tanpa tempat yang tetap, tanpa pembentukan yang tetap, tanpa karya yang tersendiri seperti Dia membagikan kepada semua mahkluk lain. Manusia diciptakan tidak bersifat duniawi maupun surgawi. Dia dapat turun nilainya dan berubah seperti binatang, tetapi dia juga dapat naik ke surga – semuanya terletak pada kehendaknya sendiri. Manusia diberi wewenang memiliki apa yang ia mau, dan menjadi apa yang ia ingin berada. Konsep ini sangat mempengaruhi para penganut paham Humanisme di abad-abad yang kemudian.
Kelemahan dari paham Humanis adalah (1) justifikasi suatu kebenaran, etika dan norma yang berlaku bagi masyarakat adalah pada diri pribadi seseorang. Padahal realitanya suatu kebenaran, etika dan norma sangat ditentukan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan suatu hukum (tertulis/lisan) dengan kebiasaan dan budaya yang telah menjadi “konsensus” bersama. (2) kelemahan yang lain mirip dengan Eksistensialisme dan Nihillisme.

5. Positivisme
Positivisme merupakan gerakan anti metafisika di dalam filsafat. Filosofi ini berakar kuat di Inggris. Akar dari Inggris adalah skeptisisme empiris dari David Hume di abad ke-18. prinsip verifikasi merupakan senjata utama dari paham ini. Mereka lebih menekankan penggunaan bahasa daripada sebuah pertanyaan. Salah satu tokoh dari paham ini adalah Ludwig Wittgenstein.
Positivisme memandang bahwa manusia dapat memiliki arti hidup. Hal ini sangat penting. Namun hidup itu sendiri tidak memiliki arti dari hal-hal yang ada. Manusia bisa memiliki keluarga, pekerjaan dan segala aktifitas yang lain, namun dibalik itu manusia memiliki lebih dari atau kurang dari itu. Paham ini juga menekankan bahwa karena bahasa tentang Allah, manusia dan kerusakkannya (keberdosaannya) tidak dapat diuji, maka itu tidak bermakna atau artinya beda dari maksud si pembicara. Hal ini menyiratkan bahwa pada dasarnya manusia tidak seperti dikatakan oleh bahasa agama – telah rusak (mengalami keberdosaan). Pernyataan ini bergantung kepada siapa yang berbicara dan siapa yang mendengarkan. Di sisi lain memahami kebenaran dan kesalahan bukan pada realitasnya, tetapi pada siapa yang berbicara dan siapa yang mendengarkan. Secara tidak langsung, paham ini mengaburkan fakta dan menonjolkan simbolisme.
Sebagai contoh: hukum, etika dan norma yang menjadi konsensus bersama di dalam masyarakat . Jika seseorang menyatakan kebenaran atau kesalahan sesuai dengan hukum, etika dan norma yang berlaku, baik secara tertulis ataupun secara lisan, hanya dipandang sebagai simbol saja. Dilakukan atau tidak dilakukan tergantung kepada siap yang berbicara dan siapa yang mendengarkan. Ini merupakan pengingkaran atas realitas hidup manusia sesungguhnya.
Kelemahan dari paham Positivisme ini adalah (1) tidak adanya objektifitas untuk menentukan hukum, etika dan norma di dalam masyarakat. (2) realitas dipandang tidak lebih dari sekadar simbol, tergantung siapa yang berbicara dan mendengarkan. (3) secara tidak langsung menolak Allah di dalam arti yang sesungguhnya, dan menerima Allah di dalam simbolisme yang berkaitan dengan sesuatu.


III. PANDANGAN KEKRISTENAN TENTANG HIDUP
Kekristenan memberikan suatu pandangan yang berbeda tentang hidup manusia. Jikalau para filsuf (dan para penganut filsafat) melihat hidup manusia berawal dari dirinya sendiri, maka kekristenan melihat bahwa hidup itu dimulai dengan Allah. Para filsuf melihat makna dan tujuan hidup manusia berasal dan berakhir di dalam manusia itu sendiri. Namun kekristenan melihat makna dan tujuan hidup berawal dan berakhir di dalam tujuan dan rencana Allah.

1. Data-Data Kitab Suci
Alkitab memberikan penegasan penting berkaitan dengan makna dan tujuan hidup manusia. Oleh karena itu, setiap orang percaya perlu menemukan akan kebenaran ini. Untuk dapat memahami makna dan tujuan hidup manusia, maka ada 2 hal penting yang harus diperhatikan:
a. Tentang Allah dan Keberadaan-Nya
Alkitab memberitahukan bahwa Allahlah yang menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta. Kenyataan ini menuntun orang Kristen untuk percaya keberadaan Allah dan apa yang dilakukan Allah untuk mengatur alam semesta sebagaimana yang dinyatakan oleh Alkitab.

i. Keberadaan Allah menurut Alkitab
Dalam bagian ini berusaha untuk mengungkapkan Allah ada sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab. Kejadian 1:1 mengasumsikan adanya Allah; Mazmur 14:1; 51:1 mengecam orang yang tidak percaya adanya Allah; Mazmur 19:1 menunjukkan bahwa alam semesta ini mengindikasikan adanya Allah; Kisah Para Rasul 14:17 kesaksian dari rasul yang menyatakan bahwa Allah memang ada; Roma 1:19-21 mengatakan bahwa Allah ada; Roma 8:15-16 menyatakan secara tidak langsung bahwa Allah memang ada, melalui kesaksian Roh Kudus; serta masih banyak lagi kesaksian dari para rasul dan nabi, baik PL dan PB bahwa Allah memang ada.

ii. Allah Menciptakan Alam Semesta
Kejadian 1-2 menjelaskan bahwa Allah menciptakan alam semesta beserta segala isinya: Kenyataan bahwa Allah menciptakan alam semesta beserta dengan isinya dan manusia, juga diperkuat dengan kesaksian Daud dalam Mazmur 8:4-10. Hari pertama, Allah menciptakan terang (Kejadian 1:3-5); Hari kedua, Allah menciptakan cakrawala (Kejadian 1:6-8); Hari ketiga, Allah menciptakan laut, darat, dan tumbuhan (Kejadian 1:9-13); Hari keempat, Allah menciptakan matahari, bulan dan bintang (Kejadian 14-19); Hari kelima, Allah menciptakan burung, dan ikan (Kejadian 1:20-23); Hari keenam, Allah menciptakan binatang darat dan manusia (Kejadian 1:24-31); Hari ketujuh, Allah berhenti dan menguduskan ciptaan-Nya (Kejadian 2:1-3)

iii. Allah Memerintah dan Mengatur Alam Semesta
Allah tidak saja, hanya menciptakan alam semesta beserta dengan segala isinya, melainkan Allah juga mengatur alam semesta ini, sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya. Grudem, memberikan penjelasan mengenai providensi Allah terhadap alam semesta ciptaan-Nya, demikian: Allah terlibat secara terus-menerus di dalam semua hal yang diciptakan, sebagai mana Dia (1) menjaga eksistensi ciptaan dan memelihara milik-Nya, yang diciptakan-Nya; (2) bekerjasama dengan ciptaan-Nya di dalam setiap tindakan, bertindak langsung sehingga menyebabkan mereka bertindak sebagaimana yang dilakukan; (3) memerintahkan mereka untuk menggenapi rencana-Nya.(02) Alkitab memaparkan sejumlah data tentang pemeliharaan Allah atas alam semesta beserta segala isinya, demikian:
Pemeliharaan Allah atas ciptaan dan dunia: Kejadian 41:32; Keluaran 9:26; Ayub 37:6-13; 38:12; Yesaya 40:12; Amos 4:7 ; Nahum 1:3 ; Matius 5:45; Kisah Para Rasul 14:17, dst; Pemeliharaan Allah atas binatang ciptaan-Nya: Kejadian 31:9; Ayub 38:39-41; Mazmur 104:21; Daniel 6:22 ; Matius 5:26; 10:29, dst; Pemeliharaan Allah atas bangsa-bangsa: Yosua 21:44; I Tawarik 16:31; Mazmur 33:10; 47:7; Daniel 2:21; 4:17 ; Yesaya 40:15; Amos 3:6 , dst; Pemeliharaan Allah yang mengontrol manusia individu: Keluaran 11:7; Ezra 8:31 ; Nehemia 4:15; Mazmur 34:7; 37:23; 118:6; Amsal 16:9; 21:1; Yesaya 64:8; Daniel 3:17 ; Roma 11:36; I Korintus 14:7; Yakobus 4:15, dst; Pemeliharaan Allah menyangkut hidup manusia: Ayub 14:5; Mazmur 139:16; Amsal 20:24; Yeremia 1:5; 10:23; Matius 6:11; Kisah Para Rasul 17:28; Galatia 1:15; Filipi 4:19, dst.

b. Tentang Manusia
Allah tidak saja, menciptakan alam semesta serta dengan segala isinya, tetap juga Alkitab melaporkan bahwa puncak dari seluruh ciptaan Allah, dengan menciptakan manusia yang segambar dan serupa dengan Allah (= image of God). Kejadian 1: 26-27 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Apakah maksudnya manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah? Manusia diciptakan “segambar dan serupa” dengan Allah bukan dalam arti fisiknya manusia. Segambar dan serupa dengan Allah adalah sesuatu yang Allah berikan kepada manusia pada waktu penciptaan pertama, yaitu: Pengetahuan – menunjuk kepada pengetahuan dan pengenalan tentang Allah; Kebenaran – menunjuk kepada kebenaran moral; Kekudusan – menunjuk kepada kesalehan terhadap Allah. Ketiga image Allah yang ditempatkan di dalam diri manusia bukanlah menunjuk kepada hal-hal yang bersifat etis, melainkan menunjuk kepada hubungan yang benar antara manusia dengan Allah dan sesamanya.(03)
Kejatuhan manusia dalam dosa, sebagaimana dicatat di dalam kejadian 3, menyebabkan “image of God” menjadi rusak. Pengetahuan dan pengenalan manusia tentang Allah menjadi rusak, kebenaran dan kekudusan manusia menjadi terdistorsi oleh dosa.(04) Kecenderungan manusia untuk terus hidup di dalam dosa, membuatnya semakin jauh terpisah dari Allah.
Selain itu hubungan manusia dengan sesamanya menjadi rusak. Manusia berdosa, hidup di dalam dosa-dosanya, percideraan, pertengkaran, penganiayaan dan bahkan pembunuhan terjadi di antara sesama manusia. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak lagi memandang manusia lainnya sebagai ciptaan Allah. Manusia yang tanpa perasaan dan hati nurani melakukan itu semua untuk kepentingan dan kepuasaan pribadi.
Hubungan yang retak karena dosa ini tidak hanya terjadi di antara manusia dengan Allah dan sesamanya, tetapi juga dengan alam sekitarnya. Manusia tidak lagi mencintai alam ciptaan Tuhan, melainkan merusaknya demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Akibatnya manusia menuai badai. Alam menjadi “marah” manusia menanggung kepahitan dan penyesalan. Banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya menghancurkan hidup manusia. Yang tersisa hanya tangisan dan kesedihan. Inilah akibat dari “image of God” yang telah terdistorsi oleh dosa. “Image of God” ini hanya dapat dipulihkan melalui satu-satunya jalan keselamatan di dalam dan melalui Yesus Kristus.

2. Filsafat yang Berakar Pada Kebenaran Allah
a. Keberadaan Allah
Filsafat Kristen mengakui, bahwa Allah itu ada. Keberadaan Allah ini diungkapkan dengan berbagai macam teori. Di dalam topik ini ada 5 argumentasi yang dapat mengungkapkan tentang keberadaan Allah,(05) baik itu secara rasional, maupun berdasarkan bukti dari alam semesta:

i. Argumentasi Kosmologis
Argumentasi Kosmologis berusaha untuk membuktikan keberadaan Allah dengan keberadaan dunia ini. Argumentasi ini berpendapat: (a) segala sesuatu yang ada di dalam dunia mempunyai penyebab yang sesuai; (b) jika demikian, alam semesta ini mempunyai yang sesuai; (c) penyebab itu harus lebih besar dari alam semesta; pemikiran ini mendorong seseorang untuk menyimpulkan bahwa itu Allah. Jadi Allah memang ada.

ii. Argumentasi Teleologis
Argumentasi Teleologis berusaha untuk membuktikan tentang keberadaan Allah melalui hubungan sebab akibat. Argumentasi ini pada dasarnya merupakan perluasan dari argumentasi kosmologis tentang keberadaan Allah. Argumentasi ini berpendapat bahwa: (a) alam semesta diatur dan disusun sesuai dengan tatanan, keserasian dan tujuannya; (b) hal ini menunjuk kepada suatu keberadaan yang berpikir dan bertujuan yang mampu menghasilkan alam semesta yang demikian; pemikiran ini mengajak seseorang untuk berpikir tentang keberadaan yang sempurna, yaitu Allah. Jadi dapat disimpulkan bahwa Allah memang ada.

iii. Argumentasi Moral
Argumentasi Moral berusaha untuk membuktikan Allah melalui moralitas manusia. Argumentasi ini sangat berkaitan dengan argumentasi sebelumnya. Argumentasi Mo ral, memiliki pandangan: (a) manusia memiliki kesadaran moral tentang benar dan salah; (b) kenya taan ini menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan kesadaran moral yang tinggi; hal ini menunjuk kepada pribadi di luar manusia, yang lebih tinggi dari manusia. Dialah, Allah. Kesimpulannya bahwa Allah itu ada.

iv. Argumentasi dari Mujizat-Mujizat
Argumentasi ini berusaha untuk membuktikan Allah dari kejadian-kejadian irasional yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Argumentasi ini berpendapat bahwa (a) mujizat adalah suatu peristiwa yang hanya dapat dijelaskan oleh karena intervensi langsung dari pribadi di luar manusia; (b) ada banyak mujizat yang benar-benar terjadi di dalam sejarah manusia; (c) karena itu, ada banyak peristiwa yang hanya dapat dijelaskan sebagai intervensi langsung dari pribadi di luar manusia; Ini mendorong seseorang untuk bertanya siapakah pribadi itu? Jawabannya adalah ALLAH. Jadi Allah memang ada!

v. Argumentasi dari Kebenaran
Argumentasi ini berusaha untuk membuktikan keberadaan Allah dari sisi kebenaran. Argumentasi ini berhubungan erat dengan argumentasi mengenai kesadaran. Argumentasi ini berpendapat bahwa (a) Pikiran-pikiran kita terbatas dpaat menemukan kebenaran-kebenaran kekal mengenai keberadaan; (b) kebenaran semestinya berdiam dalam pikiran; (c) Nam un pikiran manusia itu tidak kekal; (d) Karena itu, pasti ada suatu pikiran yang kekal di mana kebenaran-kebenaran itu berdiam; Pemikiran ini menunjuk kepada Allah yang memiliki pikiran kekal, di mana terdapat kebenaran-kebenaran itu. Jadi kesimpulannya: Allah itu ada.

b. Allah Adalah Pencipta dan yang Memelihara(06) Ciptaan-Nya
Jika Allah ada, maka Dia adalah satu-satunya pribadi yang menciptakan segala sesuatu. Kesimpulan itu bukan didasarkan kepada pengakuan dari suatu kredo yang buta, atau perkiraan yang tidak pasti dari suatu hitungan matematis, atau penelitian ilmiah, melainkan dari fakta-fakta dan kenyataan bahwa Allah memang ada, baik itu dinyatakan melalui alam semesta, manusia, atau sifat-sifat, nilai estetika serta wahyu khusus [Yesus Kristus dan Alkitab] dari Allah sendiri, yang diamati, dialami, diteliti dan diyakini oleh seseorang.
Seseorang tidak dapat menghindari penyataan bahwa “Allah ada” hanya karena tidak dapat melihatnya dalam bentuk yang kelihatan dan dapat dinilai dengan akal. Allah memang ada karena Dia adalah keberadaan yang eksis. Segala sesuatu yang ada di dalam semesta ini ditentukan oleh keberadaan-Nya. Allah tidak dapat mati atau hilang/lenyap. Sumber dari semua keberadaan di dalam dunia adalah diri-Nya sendiri dan segala hal yang terkait dengan diri-Nya sendiri.
Allah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya untuk kemuliaan dan keagungan diri-Nya. Allah tidak menciptakan segala sesuatu demi kepentingan ciptaan-Nya. Ia menciptakan segala sesuatu memiliki rencana dan tujuan, sesuai dengan apa yang diinginkan dan dikehendaki-Nya. Abraham Kuyper dengan tepat menjelaskan bahwa “Allah ada bukan karena demi ciptaan-Nya, tetapi sebaliknya ciptaan ada karena demi Allah. Karena sebagaimana Alkitab katakan bahwa Dia menciptakan segala sesuatu bagi diri-Nya sendiri”.(07) Allah menciptakan alam semesta beserta segala isinya dengan standar Allah, yaitu: “Baik adanya”. Suatu kata yang menunjukkan kualitas dari ciptaan yang diciptakan oleh-Nya.
Allah tidak saja menciptakan alam semesta ini dan membiarkan begitu saja (sebagaimana paham Deisme) atau Dia [Allah] menciptakan dunia ini, tetapi tidak mempu mengaturnya (sebagaimana paham Penentheisme). Allah yang diyakini dan dipercaya di dalam kekristenan adalah Allah yang menciptakan dan mengatur seluruh alam semesta, termasuk seluruh kehidupan manusia, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh-Nya.
Di dalam mengatur segala ketentuan-Nya untuk menopang alam semesta ini, tidak pernah ketentuan-ketentuan-Nya bertentangan satu dengan yang lain. Segala sesuatu berjalan selaras, sesuai dengan peran dan fungsi-Nya masing-masing. Mengapa demikian? Karena Allah yang mengatur dan memelihara dunia ini dengan hikmat-Nya yang kekal, sehingga tidak ada satupun ketentuan-Nya yang saling bertentangan. R.C. Sproul menuliskan hal ini dengan tepat: Allah tidak pernah membuat kesalahan untuk mengatur alam semesta ciptaan-Nya. Dia menopang apapun yang ada di dalam dunia ini dengan kesempurnaan ketetapan-Nya, karena Dia menopang sesuai dengan kesempurnaan hikmat-Nya.(08)
Pemerintah-pemerintah yang berkuasa dan yang mengatur segala kehidupan manusia, juga ditentukan oleh Allah. Allah yang membangkitkan raja-raja yang memimpin dunia ini, Dia menetapkan kekuasaan dan hidup mereka. Dia juga yang menurunkan raja-raja dan menetapkan batas kekuasaan mereka. Sejarah kehidupan manusia ada di dalam tangan-Nya dan ditentukan oleh-Nya. Semua terencana dan terjadi secara sempurna di dalam providensi-Nya. Sproul menuliskan demikian: Allah adalah raja tertinggi yang memerintah alam semesta. Dia tidak saja memerintah alam semesta dengan hukum-hukum-Nya, dia juga mengatur manusia yang ada di dalam dunia. Dia mengatur bintang-bintang dan burung-burung yang terbang sebagaimana mereka berpindah. Dia juga yang mengatur sejarah kehidupan manusia. Dia yang membangkitkan kerajaan dan kekuasaan serta Dia jugalah yang menurunkan kerajaan dan kekuasaannya. Tidak ada satupun raja yang meninggikan kekuasaannya melebihi providensi Allah.(09)
Lebih daripada itu, kehidupan manusia setiap pribadi juga dalam providensi Allah. Segala sesuatu yang dialami oleh manusia diijinkan Tuhan terjadi di dalam hidupnya, baik –buruk, suka-duka semuanya telah diatur oleh Dia. John Calvin menuliskan bahwa: tanpa providensi yang jelas, hidup manusia tidak dapat ditopang, ia menyaksikan sejumlah bencana umum yang dialami manusia dan bertanya kepada kami bagaimana kami mungkin dapat tahan terhadap penderitaan tanpa mengenal bahwa Allah mengontrol segala sesuatu.(10)

c. Manusia Ciptaan Allah
Kekristenan meyakini bahwa puncak segala ciptaan Allah adalah dengan diciptakannya manusia. Manusia menjadi mahkota bagi ciptaan Allah, karena manusia diciptakan “segambar” dan “serupa” dengan Allah. Allah menciptakan manusia bukan karena manusia menjadi terlalu berharga bagi diri-Nya, atau menjadi partner Allah dalam memerintah dan mengatur dunia ini, melainkan untuk keagungan dan kemuliaan-Nya.
Jikalau Allah menciptakan alam semesta sesuai dengan firman-Nya dengan standar Allah yang baik, maka penciptaan manusia berbeda sekali. Allah menciptakan manusia melalui musyawarah ilahi. Kemudian Allah membentuk manusia sesuai “image of God” dengan suatu nilai: “Sungguh amat baik” (bnd. Kej.1:26-27, 31). Konsep “sungguh amat baik” ini harus dimengerti dalam arti: menunjuk kepada eksistensi dari apa yang diciptakan Allah dengan segala perbedaan mereka.(11)
Manusia yang diciptakan Allah berasal dari debu tanah. Kemudian Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, maka manusia itu menjadi hidup. Manusia pertama disebut Adam. Allah menempatkan manusia itu di dalam taman Eden bersama dengan ciptaan lainnya. Namun dalam pandangan Allah, tidak baik bahwa Adam sendiri. Allah tidak menemukan pasangan hidup yang sepadan dengan Adam di dalam taman itu, maka Allah menciptakan Hawa sebagai pasangan hidup Adam yang diambil melalui rusuk Adam. Sejak saat dimulailah sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini.
Allah tidak hanya menciptakan Adam dan Hawa, namun Allah memberikan tugas kepada manusia pertama itu untuk menjadi co-partner Allah dalam memelihara dan mengelola bumi (Kej.1:28-30). Allah juga memerintahkan manusia untuk membentuk hidup dalam ikatan keluarga. Secara tidak langsung hal ini mengajarkan tentang 2 hal penting: (1) perkawinan ditetapkan oleh Allah (bnd. Kej. 2:22-24) dan (2) perkawinan bersifat monogami – Allah memberi Adam satu istri saja.(12) Allah juga memberikan segala kecukupan (= makanan) untuk hidup manusia di dalam taman Eden. Namun, di samping itu semua, Allah juga memberikan suatu hukum yang tidak dapat dilanggar oleh manusia, bahwa buah yang ada di tengah-tengah taman itu tidak boleh di makan. Jika ini dilakukan maka manusia akan mati. Keserakahan, keangkuhan dan kebodohan manusia, membuatnya jatuh ke dalam dosa. Ular yang ditempatkan di dalam taman itu menjadi sarana untuk mengungkapkan keserakahan, keangkuhan dan kebodohan manusia. Keberdosaan manusia membuat hidupnya terkutuk penuh dengan penderitaan. Keberdosaannya membuat manusia jauh dari Allah. Manusia terpisah dari Allah, Allah juga memisahkan diri dari manusia oleh karena kemahasucian Allah tidak mengijinkan-Nya untuk bersama-sama dengan dosa. Untuk sementara waktu manusia hidup di bawah kutukan dan penghukuman karena dosa.
Allah menyatakan belas kasihan-Nya kepada manusia dengan menyatakan hukum-hukum-Nya (baca: 10 Hukum Taurat), namun keberdosaannya menyebabkan manusia tidak dapat memenuhi hukum-hukum Allah tersebut. Para nabi terus berusaha menyatakan belas kasihan Allah melalui ketaatan kepada hukum-hukum-Nya. Seruan demi seruan dikumandangkan oleh para nabi agar mereka, yang dikatakan sebagai umat-Nya, jangan berbuat dosa lagi dan kembali kepada-Nya, dengan cara menerapkan dan melaksanakan segala hukum-hukum-Nya. Nam un fakta berbicara lain, semakin umat Allah melakukan hukum-hukum-Nya, maka semakin dalam mereka mengenal dan terjerumus ke dalam dosa. Ketidakmampuan umat-Nya untuk taat kepada-Nya, menyebabkan Allah harus menyelesaikan masalah dosa dengan cara-Nya sendiri.
Oleh karena kasih dan kebenaran Allah, maka problem dosa yang seharusnya menjadi tanggungan manusia, ditanggung oleh Allah. Allah mengutus putra-Nya menjadi manusia dan mati untuk menebus dosa-dosa manusia, sebagai Allah dan manusia ia dapat meredam murka-Nya sekaligus membawa manusia kembali kepada-Nya. Inilah jawaban dari pergumulan para pemikir dan teolog Kristen, ketika bertanya: Mengapa Allah menjadi manusia?(13) Hubungan manusia dengan Allah pulih kembali setelah Kristus menyelesaikan tugas yang dipercayakan Bapa kepada-Nya. Ia tidak mati selamanya. Ia bangkit dari kematian, hidup, naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Allah, sesuai dengan kredo-kredo dari setiap orang yang percaya kepada-Nya. Dengan hidup-Nya, Dia (Yesus Kristus) membuat hidup lebih berarti. Dengan hidup-Nya, mereka yang hidup di dalam-Nya memiliki pengharapan untuk hidup benar dan bertanggung jawab. Mereka yang telah percaya kepada Kristus dan hidup di dalam kebenaran Kristus sudah pasti memiliki makna dan tujuan hidup yang sejati.


IV. MEMILIH FILOSOFI HIDUP
Melihat berbagai filosofi yang telah dipaparkan di atas, muncul suatu pertanyaan penting: Bagaimana memilih suatu filosofi hidup yang benar? Allah telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk menganalisa dan mempertimbangkan suatu yang baik dan bermanfaat yang dapat diterapkan di dalam kehidupan setiap hari. Allah juga telah memberikan tuntunan moralitas melalui hati nurani manusia. Allah juga memberikan kebenaran-kebenaran umum yang dipahami, diterima dan diterapkan di dalam masyarakat itu sendiri, yang berhubungan dengan sesamanya. Oleh karena itu hal-hal ini menjadi “rambu-rambu” yang penting sekali untuk memilih dan menentukan filosofi hidup yang benar dan bertanggung jawab.
Ada beberapa Kriteria penting bagaimana memilih dan menentukan filosofi hidup: (1) Relevansi, maksudnya bahwa suatu filosofi hidup harus dapat menjawab permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan seseorang, yang bersifat horisontal dan vertikal. Filosofi hidup yang tidak dapat menjawab permasalahan seseorang, akan mengakibatkan disfungsi yang merusak hubungan seseorang dengan sesamanya, baik secara horizontal maupun vertikal. (2) Konsisten, maksudnya ajaran-ajaran dari suatu filosofi hidup tidak boleh saling bertentangan, terutama dengan moralitas, norma dan etika manusia. Selain itu ajaran-ajaran ini tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran umum yang diterima dan diberlakukan di masyarakat. (3) Aplikatif, maksudnya suatu filosofi hidup harus mampu diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Filosofi yang terlalu idealis tidak mungkin dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


V. TANTANGAN BAGI ORANG KRISTEN
Di dalam relasinya dengan orang lain di berbagai bidang, tidak sedikit orang-orang Kristen yang menggunakan filosofi di atas (maksudnya: filosofi hidup sekuler), baik dengan satu kesadaran yang jelas bahwa hal itu bertentangan dengan kebenaran firman Tuhan, maupun tidak. Ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi mereka yang ingin hidup di dalam iman yang benar di tengah dunia yang tidak jelas arah dan tujuannya (= chaos). Jika seseorang ingin menemukan makna hidup sesungguhnya, hal itu bukan terletak pada materi (=harta, kedudukan, prestise dan kepuasan hidup di dalam dunia) ataupun sejumlah pandangan filsafat sebagaimana telah diungkapkan pada halaman-halaman sebelumnya, tetapi sesungguhnya terletak di dalam Kristus Yesus.
Ada banyak orang memiliki harta yang berlimpah, kedudukan yang tinggi dengan segala prestise yang mengikutinya, namun hidupnya hampa, tidak berarti dan kosong. Ia tidak dapat menikmati hidup yang sesungguhnya! Ini menjadi contoh yang buruk bagi mereka yang mengejar segala kenikmatan dan kepuasan duniawi. Ada banyak orang yang juga memiliki filosofi hidup duniawi sebagaimana diyakini oleh para filsuf, namun mereka tidak menemukan “damai sejahtera” di dalam kehidupan mereka. Hidup mereka serasa tidak berguna dan putus asa.
Belajarlah dari Paulus seorang yang sangat berpengaruh pada masa itu, kedudukan dan prestise yang tinggi. Seorang yang sangat dihormati oleh para pemuka agama, karena memiliki pemahaman filsafat yang mengagumkan dan memiliki hubungan dekat dengan para pejabat di dalam pemerintahan Romawi, sekaligus seorang eksekutor yang sangat ditakuti oleh orang Kristen mula-mula, namun BERUBAH setelah menemukan makna hidup sesungguhnya di dalam Kristus. Paulus berkata demikian: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena menaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan” (Filipi 3:7-9). Ini menjadi awal dari suatu titik balik sebuah hidup yang berorientasi dari dunia (worldly oriented) kepada hidup yang berorientasi di dalam Kristus (Christ oriented). Itu sebabnya seluruh fokus hidup Paulus diletakkan di dalam Kristus dan melayani-Nya (Filipi 1:21-22).


VI. KESIMPULAN
Apa yang harus diputuskan saat ini? Adalah menemukan makna hidup yang tepat. Diharapkan bahwa dengan menemukan makna hidup yang tepat, maka orang percaya dapat menikmati kehidupan yang benar dan bertanggung jawab di hadapan-Nya. Lebih dari itu bahwa orang percaya diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif bagi lingkungan sekitarnya, dengan menjadi “garam” dan “terang” dunia. Kiranya melalui hidup anda Allah Tritunggal yang dimuliakan. •