145
KEHIDUPAN SOSIALEKONOMI MASYARAKAT
INDRAMAYU (TINJAUAN
HISTORIS TAHUN 1970-2007)
Latarbelakang Masalah Penelitian
Pada dasawarsa tahun 1970 dan 1980, Indonesia
mengalami proses perubahan sosial yang relatif tinggi
sehingga mempunyai akibat yang luas serta dalam. Keadaan
ini ditandai dengan masuknya ekonomi dunia ke tengah
ekonomi nasional, yang diikuti oleh usaha-usaha besar lewat
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negri.
Perubahan itu juga memberikan dampak baik positif maupun
negatif bagi ligkungan sekitar meliputi kehidupan manusia
(penduduk) serta lingkungan alam (pencemaran, kerusaan
lingkungan). Selanjutnya keadaan seperti tersebut di atas
akhirnya membawa dinamika tersendiri di beberapa tempat di
Kabupaten Indramayu seperti di Kecamatan Kroya,
Indramayu, Balongan dan Kecamatan Losarang. dimana
dengan leluasa membentuk masyarakat ekonomi baru baik di
perkotaan maupun pedesaan. Selain itu persaingan antara
sektor ekonomi yang bercorak tradisional dengan ekonomi
modern menjadi semakin tajam. Akibat sosial dari gejala
ekonomi ini antara lain dislokasi sosial, pengangguran,
kriminalitas yang semakin meningkat, dan sebagainya.146
Fenomena di atas tergambar pula di kabupaten
Indramayu, sebagai salah satu kabupaten di Jawa barat yang
memiliki sumber daya alam beragam: laut, dengan hasil ikan
dan garam, maupun hasil pertanian serta tambang minyak.
Sayang untuk beberapa hal belum banyak memberi
kesejahteraan secara merata kepada sebagian besar
penduduk di kabupaten ini. Ada sesuatu yang berkenaan
dengan perasaan tidak berdaya, tidak bermakna, terpencil
dari situasi atau lingkungan sekitar kehidupannya yang
sedang berubah, yang dapat dikatakan semacam
keterasingan (Kuntowijoyo, 1987: 81). Oleh sebab itu
dinamika kehidupun sosial-ekonomi kurang memperlihatkan
kearah perbaikan yang progress selama tahun kajian
penelitian. Dalam beberapa hal malah dapat dikatakan
mundur yang nampak pada masalah industri petasan dan
tenaga kerja wanita, sedangkan keajegan ada pada industri
garam rakyat. Sementara untuk masalah Balongan (minyak
bumi), dapat disebutkan menjadi salah satu hal yang memiliki
respon positif menuju kearah perbaikan dari perubahan
lingkungan setempat, meski belum dapat dikatakan optimal
memberikan kesejahteraan.
Masalah industri petasan dan garam rakyat yang telah
berkembang sejak lama di Kabupaten Indramayu, tampak
bahwa masih belum ada perubahan yang berarti, kecuali
secara terbatas telah memberikan kesempatan kerja bagi
penduduk sekitar mendapatkan tambahan penghasilan. Jika
dilihat kegiatan ekonomi ini berpotensi dalam memberikan
jalan bagi seluruh penduduk Indramayu kearah perubahan 147
soial-ekonomi yang signifikan. Di Kecamatan Indramayu,
dimana industri petasan berada terdapat permasalahan
serius yang belum juga selesai, yakni tentang hasil produksi
legal atau illegal. Kehati-hatian pemerintah daerah perlu
dilihat sebagai bentuk preventif dari ekses buruk yang
mungkin terjadi, sedangkan „kenekatan” penduduk setempat
untuk terus memproduksi petasan juga harus dilihat sebagai
salah satu usaha mendapatkan penghasilan tambahan guna
mencukupi kehidupan keluarganya. Apa lagi mereka memiliki
ketrampilan teknis meracik serbuk petasan sehingga
mendapatkan hasil/ jenis petasan yang dapat meletus atau
meledak dengan berbagai variasinya.
Sementara itu pada industri garam rakyat belum
menampakkan adanya perubahan atas kehidupan petani
garam, yang justru paling bekerja keras sepanjang musim
kemarau dalam mengolah air penggaraman/ air laut. Disatu
pihak kelompok pengumpul malah mendapatkan kesempatan
dalam mengambil keuntungan dari situasi yang kurang
„bersahabat‟ dari petani garam. Ketidakberdayaan para petani
perlu dibantu oleh pemerintah setempat, karena dari mereka
dihasilkan butiran garam yang mempunyai nilai jual untuk
membantu kehidupan ketika sawah di Losarang tidak
memberikan hasil dimusim kemarau.
Untuk masalah yang berhubungan dengan tenaga
kerja wanita lebih memprihatinkan, karena dari tahun ke
tahun menunjukkan adanya peningkatan secara kuantitas
yang pergi ke luar negeri. Sebaliknya dapat dikatakan tidak
atau kurang dalam meningkatkan kualitas sumber 148
manusianya di Kecamatan Kroya. sebagai salah satu wilayah
yang banyak mengirimkan tenaga kerja wanita tersebut.
Seperti diketahui bahwa uang yang masuk ke kecamatan ini
tiap tahun relatif banyak, sayang tidak dimanfaatkan untuk
upaya membangun atau meningkatkan sumber daya manusia
setempat, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan material
(rumah, kendaraan, tanah, dll), kearah gaya hidup modern.
Selain daripada itu para TKW sering mendapat perlakuan
tidak manusiawi baik ketika sedang bekerja di luar negeri
maupun di dalam negeri, ketika mereka pulang kampung..
Pihak pemerintah daerah tampaknya juga kurang
memberikan pelayanan, bahkan untuk tingkat RT/RW juga
memperlihatkan ketidak pedulian, sehingga kalau terjadi
kasus-kasus kekerasan, penganiayaan, meninggal dunia
akan mengalami kesulitan informasi/ melacaknya dari mana
keluarga mereka berasal.
Terakhir untuk masalah yang terjadi di Balongan justru
menunjukkan adanya kepedulian terhadap mereka (petani
Balongan) yang kehilangan tanah/ sawah akibat proyek
pertamina. Meskipun sudah mendapatkan ganti rugi dari
pihak pertamina, penduduk sekitar juga dilibatkan dalam
proyek-proyek sebagai tenaga kerja kasar. Mereka tidak
memiliki keahlian untuk masuk dalam industri minyak
Balongan yang memang membutuhkan keahlian tertentu.
Keadaan ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah setempat untuk menyiapkan penduduknya
menjadi pemain aktif dalam pembangunan, bukan menjadi
penonton di rumah sendiri.149
Metode Penelitian:
Metode yang digunakan adalah metode historis
dengan menggunakan studi literature dan wawancara
sebagai teknik penelitiannya. Metode historis adalah proses
menguji dan menganalisis secara kritis terhadap terhadap
rekaman serta peninggalan masa lampau dan menuliskan
hasilnya berdasarkan fakta yang telah diperoleh yang
disebutkan historiografi (Gottschalk, 1975: 32). Pendapat
yang lain mengatakan bahwa metode historis adalah suatu
proses pengkajian, penjelasan dan analisis secara kritis
terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau
(Syamsuddin, 1996: 63). Adapun langkah-langkah penelitian
dalam metode historis ini meliputi: pertama heuristik; yaitu
suatu kegiatan mencari, menemukan, dan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah; kedua kritik sumber, yaitu meneliti
secara kritis baik ekstern maupun intern terhadap semua
sumber sejarah yang berhasil dikumpulkan sehingga
mendapatkan sejumlah fakta tentang fenomena sosialekonomi di Kabupaten Indramayu sejak tahun 1970-2007;
ketiga adalah interpretasi yang merupakan tahapan
menafsirkan sederet fakta yang telah diperoleh dengan
menggunakan pendekatan interdisipliner, selanjutnya adalah
historiografi yang merupakan tahapan terakhir yakni proses
rekonstruksi kembali peristiwa penting terkait kehidupan
sosial-ekonomi penduduk di Kabupaten Indramayu.
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Indramayu150
Kabupaten Indramayu secara geografis terletak antara
10751'-10836' Bujur Timur dan 615' - 640' Lintang Selatan
dengan luas wilayah 2.040,11 Km2. Wilayah Kabupaten
Indramayu di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa,
sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten
Cirebon, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Subang
sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten
Majalengka, Sumedang, dan Cirebon.
Letak Kabupaten Indramayu yang membentang
sepanjang pesisir pantai utara P. Jawa membuat suhu udara di
Kabupaten ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 18° Celcius-28°
Celcius. Sementara rata-rata hujan yang terjadi di Kabupaten
Indramayu adalah 1.061,25 mm/tahun. Adapun curah hujan
tertinggi terjadi di Kecamatan Indramayu kurang lebih sebesar
1.552 mm dengan jumlah hari hujan tercatat 59 hari, sedang
curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Cikedung kurang
lebih sebesar 616 mm dengan jumlah hari hujan tercatat 54 hari
(BPS, 2003 : 1).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS),
Kabupaten Indramayu memiliki luas wilayah yang tercatat
seluas 204.011 Ha yang terdiri atas 115.029 Ha tanah sawah
(56,38%) dengan irigasi teknis sebesar 65.743 Ha, 19.229 Ha
setengah teknis 2.769 Ha irigasi sederhana PU dan 2.563 Ha
irigasi non PU sedang 23.258 Ha di antaranya adalah sawah
tadah hujan. Adapun luas tanah kering Kabupaten Indramayu
tercatat seluas 88.982 Ha atau sebesar 43,62% merupakan
tanah kering.151
Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang
dibagi lagi atas sejumlah 313 desa dan kelurahan. Pusat
pemerintahannya terletak di Kecamatan Indramayu, yang
berada di pesisir Laut Jawa. Kabupaten Indramayu saat ini
memiliki desa sebanyak 302 desa dan 11 kelurahan.
Desa/Kelurahan tersebut tersebar di 31 kecamatan, di mana
pada tahun 2005 telah terjadi pemekaran wilayah yang
menghasilkan 3 kecamatan baru, yaitu Kecamatan Tukdana,
Pasekan dan Patrol.
Seperti kabupaten lainnya di Jawa Barat, Kabupaten
Indramayu merupakan daerah yang cukup subur. Dari wilayah
seluas 204.011 hektar, 41,90 persen merupakan tanah sawah.
Sebagai lumbung beras di Jawa Barat, enam tahun terakhir
(2001), Indramayu masih nomor satu dalam produksi padi seProvinsi Jawa Barat. Produksi padi selama kurun waktu tersebut
mencapai lebih dari satu juta ton per tahun. Produksi gabah
dapat mencapai 1,2 juta ton per tahun. Dari jumlah itu yang
dikonsumsi sendiri di Indramayu sekitar 400.000 ton, sisanya
800.000 ton dipasarkan ke luar daerah atau sektor pertanian
menyumbang 16,02 persen dari total Produk Dometik Regional
Bruto Kabupaten Indramayu, penyumbang kedua terbesar
setelah Sektor Industri (Migas). Selain itu data penduduk
Indramayu berdasarkan sektor usaha utama menunjukkan
52,71 persen penduduk yang berusia diatas 10 tahun bekerja di
sektor pertanian (BPS, SAKERNAS 2003).
Selain tanaman padi, bumi Indramayu kaya akan sumber
bahan tambang, yaitu minyak dan gas bumi (migas). Sejak
tahun 1970 migas mulai dieksploitasi oleh Pertamina melalui 152
penggalian sejumlah sumur. Dari ratusan sumur yang dibor,
daerah-daerah yang berhasil memproduksi adalah Jatibarang,
Cemara, Kandanghaur Barat dan Timur, Tugu Barat, dan Lepas
Pantai. Pada tahun 1980 Pertamina mendirikan terminal
Balongan untuk menyalurkan bahan bakar minyak (BBM).
Kilang yang dibangun tahun 1990 tersebut mulai beroperasi
pada tahun 1994. Dikelola oleh Pertamina Unit Pengolahan
(UP) VI Balongan. Produksi kilang BBM berkapasitas 125.000
BPSD (barrel per stream day) boleh dibilang seratus persen
disalurkan untuk DKI Jakarta. Sedangkan produksi gas atau
LPG yang dikelola Kilang LPG Mundu VI dengan kapasitas 37,3
MMSCFD (juta kaki kubik per hari) di Kecamatan Karangampel,
disalurkan untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Dari sisi statistik, migas jelas-jelas dominan dalam
kegiatan ekonomi Indramayu, khususnya sektor pertambangan
dan penggalian. Tahun 1996 subsektor minyak dan gas
mencapai 53,82 persen, sementara empat tahun kemudian
55,16 persen. Di satu sisi migas memberi kontribusi bagi
kegiatan ekonomi kabupaten, tapi di sisi lain migas memicu
'pertarungan' antara Pertamina, Pemerintah Kabupaten
Indramayu dan pemerintah pusat.
Persoalan utamanya adalah jumlah dana bagian daerahsesuai UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah-dianggap tidak adil oleh
pemerintah daerah (pemda). Selama ini kontribusi migas yang
diterima pemda hanyalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Untuk lima tahun terakhir realisasi penerimaan PBB di sektor
pertambangan terus meningkat, antara lain Rp 8,3 milyar (1996) 153
dan Rp 11,2 milyar (2001). Pertamina UP VI beralasan, karena
sebagian besar kegiatannya bersifat hilir-seperti pengolahan,
pengapalan dan pemasaran, serta niaga-maka kontribusinya
adalah pajak. Hal ini berbeda dengan unit lain yang kegiatannya
adalah eksplorasi dan eksploitasi. Walaupun begitu, di
Indramayu hingga kini terdapat 77 sumur minyak dan 40 sumur
gas yang dikategorikan menghasilkan. Seluruh sumur tersebut
berada dalam wilayah Aset I yang dikelola Pertamina Daerah
Operasi Hulu (DOH) Cirebon.
Dari beberapa keunggulan di atas, Kabupaten Indramayu
juga merupakan gudang tambak. Seperti di Kecamatan
Balongan, terhampar ratusan hektar tambak udang, tambak
bandeng, dan tambak garam . Potensi alam lainnya di
Indramayu adalah mangga. Itu sesuai dengan julukannya
sebagai Kota Mangga sehubungan di sana banyak tanaman
mangga. Mangga daerah ini dikenal manis. Selain itu sarang
burung walet juga merupakan kekuatan Indramayu. Sektor
komoditi lainnya yang menjadi unggulan adalah sebagai berikut.
Julukan populer bagi Kabupaten Indramayu adalah
sebagai Kota Mangga dan Lumbung Beras utama di Provinsi
Jawa Barat. Itulah cap yang masih populer bagi Indramayu. Kini
ada cap lain yang khas untuk kabupaten tersebut: tawuran,
miras, TKW, petasan, dan PSK. Perkelahian antarwarga desa di
beberapa kecamatan menjadi hal yang lumrah namun
memusingkan pihak keamanan dan masyarakat. Contohnya
adalah, biasa kalau di tengah jalan penumpang 'Elp' -angkutan
umum antarkecamatan dan kabupaten- tiba-tiba dioper paksa
ke kendaraan lain dengan alasan untuk menghindari 'demo' 154
alias tawuran. Baru-baru ini muncul juga korban miras yang
banyak memakan jiwa, terutama para pemuda Indramayu.
Kehidupan Sosial-Ekonomi di Kabupaten Indramayu
Kecamatan Indramayu
Keberadaan industri petasan di Kecamatan Indramayu
dan khususnya di Desa Teluk Agung dapat dikatakan tetap
bertahan, meskipun mengalami pasang-surut yang berkaitan
erat dengan kebijakan politik. Industri ini telah lama
berkembang dan dijalankan secara turun-temurun dalam
lingkungan keluarga masing-masing. Oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa kehidupan sosial-ekonomi penduduk
setempat tidak pernah lepas dari usaha ini, meskipun
berbagai tantangan terus saja mengiringi. Hal ini
menunjukkan jika kegiatan ekonomi berupa industri petasan
secara langsung telah memberikan kesempatan dan menjadi
salah satu alternatif bagi mereka mendapatkan penghasilan
tambahan di bulan-bulan tertentu (menjelang puasa/ lebaran
dan natal/ tahun baru).
Seperti sudah disinggung sebelumnya meskipun ada
larangan dari pemerintah yang mengatur tentang pembuatan
bahan peledak yang merupakan bahan utama membuat
petasan, tetap terus berlangsung meski secara sembunyi
diproduksi. Permintaan pasar yang masih cukup banyak
ditambah industri ini mampu menyerap tenaga kerja
setempat, tampaknya menjadi alasan kuat mengapa mereka
terus mempertahankannya atau menggantungkan kehidupan
keluarganya pada industri tersebut.. Secara langsung 155
memberikan konstribusi dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat pendukungnya seperti
pengusaha maupun pekerjanya. Sebagai contohnya,
seorang pengusaha besar rata-rata memperoleh keuntungan
antara Rp. 3.500,000,- sampai Rp. 4.300.000,-/ bulan
dengan modal sekitar Rp. 7.500.000,- sampai Rp.
10.000.000,- ;untuk kelompok pengusaha menengah
keuntungan berkisar Rp. 2.300.000,- sampai Rp. 3.500.000,-/
bulan, sedangkan industri skala kecil memperolah Rp.
750.000,- sampai 2.300.000,-/ bulan dari modal yang harus
dikeluarkan yakni sekitar Rp 1.000.000, sampai Rp.
5.000.000,- (Hasil wawancara dengan Supandi 7 November
2009).
Tidak hanya para pengusaha saja yang menikmati
pendapatan dari industri petasan, tetapi juga pekerjanya yang
dapat dilihat dari upah yang diterima. Perbedaan tingkat upah
yang diterima pekerja tergantung dari jenis pekerjaan yang
ditekuni. Mencampur bahan peledak dan mengisi bahan
peledak ke dalam selongsong/ congkong mendapatkan Rp.
150.000,-/ bulan., dan ini merupakan pendapatan tertinggi
diantara yang lainnya di tahun 1985 yang mengalami
kenaikan hampir dua kalipat di awal tahun 2000-an (Hasil
wawancara dengan Slamet, tgl 18 November 2009).
Dari kegiatan ini pula hampir 350 keluarga/ rumah
tangga di kecamatan Indramayu, yang artinya ada sekitar
1.400 orang terserap sebagai pengrajin petasan (pengusaha
maupun para pekerja) di tahun 1980-an. Keadaan ini
bertambah atau meningkat di tahun 2000-an menjadi 450 156
kepala keluarga yang juga berarti menyerap lebih banyak
tenaga kerja. Bisa dihitung beberapa bulan dalam satu tahun
mereka mendapat kesempatan „menikmati‟ hasil yang relatif
lebih besar di luar sektor pertanian. Dengan berbagai alasan,
keberadaan industri petasan ikut memberikan kontribusi riil
atas kesejahteraan ekonomi penduduk sekitar dan secara
tidak langsung ikut melestarikan ketrampilan maupun
kepandaian meramu bahan peledak. Apa lagi sejak anakanaak mereka sudah terbiasa melihat proses ketrampilan
lewat orang tua masing-masing/ rumah tangga lain
dilingkungannya. Kecintan membuat petasan secara turun
temurun telah diperkenalkan sejak mereka usia dini, sehingga
tidak mengherankan bila anak-anak juga menjadi bagian dari
cara memproduksi petasan meskipun masih terbatas yakni
memberi krim petasan pada selongsong di waktu
senggangnya. Berapapun hasilnya ini telah membantu
ekonomi keluarga, dan yang terpenting bahwa ketrampilan
membuat petasan telah mereka ajarkan kepada generasi
muda setempat. Inilah modal penting yang tidak dapat
diperoleh disekolah formal, mereka langsung melihat,
mengamati, dan mempraktekkan sendiri dalam jangka waktu
lama.dibawah pengawasan keluarganya.
Kecamatan Losarang
Salah satu sentra produksi garam rakyat di Jawa Barat
adalah Kecamatan Losarang - Indramayu, yang terlihat sibuk
di musim kemarau antara setiap pertengahan bulan JuniOktober. Pada musin kemarau para petani garam, kami sebut 157
seperti itu mudah memproduksinya, karena mereka betulbetul mengandalkan pada faktor cuaca selain tentunya lahan
di dekat pantai dimana air laut sebagai bahan utamanya
berada. Umumnya petani garam di Losarang Indramayu
termasuk dalam petani yang menyewa tanah/ lahan
penggaraman atau yang menggarap tambak milik orang lain
melalui sistem maro. Berturut-turut adalah petani garam yng
hanya bermodalkan tenaga alias buruh dan terakhir adalah
petani garam yang mengolah tanahnya sendiri.
Setiap satu lahan garapan dengan luas 1 ha,
produksinya berkisar antara 3-4 ton, dan selama musim
kemarau mereka dapat panen hingga 3 kali. Bila dihitung
berarti satu kali musim kemarau dihasilkan sekitar 9-12 ton
garam untuk lahan penggaraman seluas 1 ha. Berdasarkan
data, lahan di Kecamatan Losarang dapat mencapai sekitar
30.000 ton/ tahun (http://www.pelita.or.id/baca.php).
Produksi yang melimpah ternyata tidak sebanding dengan
jumlah keuntungan yang diperoleh petani garam. Ketika hasil
berlimpah tepatnya saat panen raya, para pedagang yang
disebut pengumpul berusaha membeli dengan harga murah,
tidak langsung dijual ke konsumen tetapi ditimbun/ disimpan
dahulu. Baru dilempar kepasaran pada saat harga tinggi,
sehinga keuntungannya pasti berlipat dari harga belinya
dahulu. Sebagai contoh, pada tahun 1979 dimana harga
garam dari petani sekitar Rp. 7,-/ kg, dijual kemudian di
Jakarta seharga Rp. 25,-/ kg, petani hanya mendapatkan Rp.
84.000/ ton/ ha/tahun sedangkan pedagang pengumpul
memperoleh Rp. 300.000,-. Sebagai perbandingannya di 158
tahun 2007 harga garam naik menjadi Rp. 350,-/ kg, yang
menurun ketika panen raya diangka Rp. 220,- -Rp. 240,-/ kg.
Dari tahun ketahun memang ada peningkatan harga jual
garam setiap kilogramnya, tetapi tetap saja tiak dapat
dinikmati petani karna tuntutan hidup juga meningkat, dimana
harga-harga kebuuhan pokok juga secara otomatis naik.
Tampaknya naiknya harga jual bukan berarti bahwa petani
akan mendapatkan keuntungan lebih besar. Kehidupannya
tetap tidak beranjak, masih belum ada perubahan kualitas
hidup meski cara kerja mereka tidak pernah berubah menjadi
ringan, tetap harus bekerja keras dari tahun ketahun.
Betapa jauh perolehan petani dibandingkan pedagang
yang nota benenya tidak mengeluarkan tenaga guna
mengolah air penggaraman selama 3-4 bulan, diwaktu
kemarau. Jatuhnya harga garam selalu terjadi setiap
memasuki masa panen raya, sementara petani harus
berhadapan dengan kekuatan ekonomi pemilik modal,
sehingga tidak punya daya tawar. Disamping itu mereka tidak
punya prasarana menyimpan garam, kebutuhan hidup harus
segera dipenuhi, sedangkan mereka tidak punya pekerjaan
lain kecuali mengolah garam. Dari keadaan ini
memperlihatkan bahwa posisi petani garam rentan tehadap
permainan harga, apalagi tidak ada harga pembelian
pemerintah (HPP), sehingga pedagang yang „berkuasa‟
menentukan harga dasar garam ditiap sentra garam. Dengan
posisi tawar yang rendah para petani sulit menolak ketentuan
harga yang ditentukan pedagang, bila mereka mencoba
mempertaankan harga secara wajar sering berakibat garam 159
sulit dijual. Akibat selanjutnya terjadi penumpukan, sementara
mereka tidak mempunyai gudang penampungan, sehingga
tidak mengherankan jika garam yang telah dipanen berjajar
dipinggir jalan karena tidak laku.
Pada umumnya setiap ha dikerjakan oleh 4-6 orang,
berarti di wilayah penelitian, tepatnya Desa Santing dan
Muntur kecamatan Losarang yang memiliki luas
penggaraman 250 ha, melibatkan sekitar 1.000 – 6.000 orang
tenaga kerja, sedangkan untuk Kecamatan Losarang bahkan
mencapai kurang lebih 1.000 ha yang berarti mampu
menampung/ memberi kesempatan kerja sekitar 4.000-6.000
orang. Suatu jumlah yang cukup besar disaat mereka tidak
bekerja di lahan persawahan (padi), yang artinya dapat
menghidupi keluarga pada waktu kesulitan melanda wilayah
ini. Potensi ini harus menjadi pehatian semua fihak, bahwa
ada perjuangan tanpa lelah dari sebagian penduduk
golongan bawah di Losarang Indramayu yang berjuang
mendapatkan penghasilan secara mandiri. Pendapatan
utama di musim kemarau, bukan sebagai tambahan bagi
para buruh dan mereka yang mengolah sendiri lahannya
sedangkan bagi mereka yang hanya menyewakan mungkin
merupakan pendapatan tambahan atau sampingan.
Kecamatan Kroya
Keterlibatan wanita kroya dalam meningkatkan
perekonomian keluarga dengan jalan bekerja keluar negeri 160
bukanlah hal baru. Kondisi tersebut tidak terlepas dari factor
ekonomi dan social-budaya yang berkembang di wilayah ini.
Kewajiban mencari nafkah secara kultur memang ada pada
pundak kaum laki-laki, namun ketika dianggap tidak
mencukupi telah mendorong wanita kroya untuk bekerja.
Muncul pertanyaan kenapa harus ke luar negeri, yang
tentunya meninggalkan keluarganya seperti anak, suami
serta orang tuanya.
Kesempatan yang ada pada pada awalnya mencari
pekerjaan dengan penghasilan yang dianggap besar awaktu
itu yakni menjadi tenaga kerja wanita diluar negeri. Apa lagi
yang diperlukan adalah mereka yang mau bekerja sebagai
pembantu rumah tangga, pekerja di reatoran sebagai tukang
cuci dan pekerjaan lain yang tidak menuntut kualifikasi
pendidikan tertentu ataupun keahlian khusus. Sebagian besar
lowongan yang ada memang erat dengan pekerjaan wanita
sehari-hari. Inilah tampaknya yang menjadi daya tarik,
sehingga tanpa fikir panjang umumnya mereka siap untuk
berangkat. Bukan lagi menjadi hal yang dilarang atau
menjadi perbincangan diantara tetangganya jika salah satu
anggota keluarganya. Apa lagi mereka memberikan
konstribusi secara ekonomi melalui kiraman uang yang dapat
mencapai juta rupiah bagi keluarganya, berarti ada uang
berkisar ratusan juta yang beredar di desanya. Andai
dimanfaatkan secara bijak kemungkinan aka nada perubahan
yang lebih baik, selanjutnya pengiriman TKW tidak perlu lagi.
Bagi masyarakat Kroya wanita ibarat harta berharga,
lebih mengutamakan anak perempuan dikarenakan dapat 161
secara cepat menghasilkan uang dengan cepat karena ketika
dewasa akan memberangkatkan anaknya menjadi TKW.
Bekerja di luar negeri telah menjadi suatu alternatif menarik
bagi sebagian orang, di Indramayu dan khususnya dari
Kroya. Terdorong oleh kebutuhan hidup dan impian
mendapatkan penghasilan yang layak maka banyak orang
yang mencoba peruntungannya menjadi TKW. Hal ini dapat
dilihat dari kecenderungan terjadinya peningkatan jumlah
tenaga kerja Indonesia, dimana jumlah wanita lebih banyak
dibandingkan laki-laki. Tidak adanya data yang rinci tentang
jumlah TKW yang diberangkatkan dari wilayah ini,
diperkirakan di tahun 2006 mendekati seribu orang. Pada
kenyataannya jumlah mereka di Kabupaten Indramayu telah
mencapai lebih dari 45.000 orang. Hal ini disebabkan banyak
yang pergi tanpa terdaftar di Dinas Sosial Tenaga Kerja
setempat atau dengan kata lain statusnya illegal. Upaya yang
dilakukan pemerintah untuk mengontrol tenaga kerja illegal
diantaranya dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dengan cara menyebarkan leaflet dan brosur
yang berisi himbauan agar mereka mempersiapkan semua
persyaratan administratif juka hendak bekerja ke luar negeri.
Selain itu harus melibatkan aparat desa dan ketua RT/RW
yang ada dimasing-masing desa, agar mendapatkan data
secara riil berapa jumlah yang berangkat dan alamat
keluarganya dengan jelas. 162
Kecamatan Balonangan:
Sejak didirikannya industri minyak dan gas alam,
tepatnya Pertamina UP VI Balongan secara langsung telah
memberikan dampak terjadinya perubahan di wilayah ini.
Perubahan tersebut menyangkut tidak saja perubahan
lingkungan tetapi juga perubahan social. Adanya kegiatan
pertamina UP VI telah menggeser kepemilikan tanah
disekitarnya, yang mau tidak mau harus bersedia
menjualnya. Dari hasil ganti rugi/ ganti untung tersebut,
sebagian ada yang membeli kembali tanah dan rumah di
desa lain, tetapi ada yang terpaksa hidup lebih tidak pasti
ketika hasil ganti rugi tanah tidak mencukupi. Seperti
dipahami bahwa sebagian besar penduduk Balongan
bermatapencaharian sebagai petani, berarti bahwa tanah/
sawah menjadi aset penting di sini.
Untungnya pihak pertamina Balongan dalam beberapa
hal memberikan kesempatan atau peluang kerja dengan
mengikutsertakan penduduk setempat dalam proyekproyeknya, disamping juga memberi fasilitas sosial, seperti
memberi beasiswa kepada anak-anak Balongan yang
berprestasi dari tingkat SD sampai SMA, bahkan untuk
beberapa kasus sampai keperguruan tinggi. Selain hal
tersebut setiap bulan ada kegiatan pemeriksaan kesehatan
gratis khususnya di desa Kesambi dan Balongan serta
bantuan bahan pokok dan bantuan susu untuk para balita
setempat. 163
Khusus untuk para petani yang tidak memiliki lahan
dan ini merupakan jumlah terbesar di Balongan, Pertamina
menjediakan lahan penyanggah berupa sawah dan kebun
untuk dimanfaatkan yang diatur oleh masing-masing kepala
desa dibawah pengawasan pihak kecamatan. Sayangnya
akses mereka untuk menjadi pegawai tetap di pertamina tidak
begitu terjadi secara otomatis karena ada seleksi. Dalam
kegiatan industri teknologi tinggi diperlukan tenaga kerja yang
memiliki kualifikasi tertentu, oleh sebab itu sebagian besar
dari mereka baru dapat kesempatan menjadi pegawai
“rendah”. Dibutuhkan waktu yang relative lama ntuk
mendapatkan sumber daya manusia dari wilayah ini yang
siap ditempatkan di pertamina. Lewat pendidikan bukanlah
suatu hal yang mustahil, tentu saja harus ada perhatian dan
campurtangan dari Pemda dan Pertamina sendiri, yang
diharapkan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya/
pendidikan bagi generasi mudanya. Berikutnya akan
diperoleh sumber daya manusia yang tangguh dan siap untuk
menghadapi tantangan bagi kelangsungan pembangunan di
wilayahnya.
Kesimpulan
Masalah kerja keras tidak perlu lagi dipertanyakan
untuk melihat fenomena di keempat wilayah kajian di
Kabupaten Indramayu yang menitik beratkan pada dinamika
yang terjadi di industri petasan, garam rakyat, tenaga kerja
wanita dan petani Balongan. Berbagai kendala, tantangan,
kesempatan dan perubahan yang terjadi mereka coba sikapi 164
dengan cara pandang mereka, meski sering bersinggungan
dengan aturan ataupun fihak lain bahkan kultur yang ada.
Semua itu tampaknya bermuara pada apa yang namanya
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Campur tangan dari pihak pemerintah perlu lebih
intensif baik memberikan kenudahan, fasilitas, aturan
pelayanan sehingga masyarakat bisa bekerja lebih nyaman,
berkarya lebih baik dan terlindungi haknya Jika dilihat
potensi geografis menyangkut keragaman sumber alam
setempat, Indramayu bukan termasuk daerah miskin, begitu
pula dengan orang/ penduduk yang tinggal di wilayah ini mau
bekerja keras. Tetapi hingga awal abad 21 memang belum
ada peubahan yang berarti dalam mencapai taraf kehidupan
yang lebih baik, merebaknya pengumpul/ tengkulak, calo
tenaga kerja, dan kesadaran terbatas akan pendidikan perlu
digarisbawahi untuk lebih diperhatikan oleh pemerintah
setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar