ASPEK SOSIAL-BUDAYA PADA KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN TRADISIONAL
Boeke mungkin bukan orang pertama yang secara utuh mengadakan kajian tentang dimensi sosial-budaya dalam aktivitas perekonomian masyarakat desa tradisional—ia menyebut sebagai “masyarakat prakapitalis”—namun, Boekelah—setidak-tidaknya bagi penulis— yang menyadarkan kepada kita bahwa betapa dalam berbagai kajian tentang ekonomi, kedudukan, peran dan arti desa tradisional hampir-hampir terabaikan, dan senantiasa ditempatkan sebagai “obyek”, bukan sebagai “subyek”. Di sisi lain, walaupun dalam tahun-tahun yang lampau, studi-studi sosiologis dan antropologis telah banyak mencurahkan perhatian pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nusantara, namun hanya sedikit sekali yang memfokuskan kajiannya pada pola-pola dan praktik-praktik ekonomi yang dikelola dan dipimpin oleh “penduduk pribumi” dengan bentuk-bentuk relasi dan jaringan ekonomi yang bersifat “internal”. Pada umumnya, tekanan kajian mereka banyak diletakkan pada peranan orang-orang Eropa daripada pendudukpribumi sendiri, sebagaimana studi yang pernah dilakukan oleh Geertz (1963), dan Burger (1980).
Dalam konteks ini, kita perlu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap karya-karya klasik dari Van Leur (1967) dan Schrieke (1955-1957), karena kedua orang inilah yang mempelopori kajian-kajian sosial-ekonomi dengan mencoba menempat- kan arti penting orang-orang Asia (Indonesia) dalam aktivitas dan jaringan ekonomi (perdagangan) dunia. Hanya sayangnya, studi-studi tersebut dilakukan pada masa-masa pra-kolonial dan kolonial. Studi-studi terpenting mengenai relasi dan jaringan ekonomi (perdagangan) “setempat dan regional” pada dasarnya telah dimulai oleh Dewey dalam karyanya “Peasant Marketing in Java” (1962) dan Geertz melalui karyanya “Peddlers and Princes” (1963). Kedua karya ilmiah tersebut mencoba menghubungkan aktivitas-aktivitas para pedagang dan para wiraswastawan dengan keadaan ekonomi umum di dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah dan secara luas menguraikan keterkaitannya dengan konteks sosial-budaya dari peristiwa ekonomi yang bersangkutan.
Sangat kurangnya studi-studi tentang aspek-aspek sosial-budaya dalam aktivitas perekonomian dalam masyarakat desa tradisional ini pun terjadi pada masyarakat Madura, terutama di kalangan masyarakat desa tradisional di daerah-daerah pesisir.
Dari kepustakaan yang ada, penelitian-penelitian ke-Madura-an masih banyak difokuskan pada kehidupan masyarakat “petani tradisional” (traditional peasant society), seperti yang telah dilakukan oleh Kuntowijoyo (1980); Leunissen (1982; 1989), Touwen-Bouwsma (1989a), Smith (1989) dengan fokus tentang kehidupan sosial-ekonomi. Sementara studi de Jonge (1977), Bouvier (1987) memfokuskan diri pada studi tentang kehidupan sosial-budayanya, atau, sejumlah studi lain dari Kuntowijoyo (1980; 1993); Touwen-Bouwsma (1989b); de Jonge (1989b) terhadap aspek sosial-politik dalam kehidupan masyarakat Madura; serta yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan (Islam), baik yang dilakukan oleh de Jonge (1989a), Kuntowijoyo (1989) dan Akhmad Khusyairi (1989). Sementara itu, penelitian-penelitian pada latar kehidupan masyarakat pesisiran relatif sedikit, itu pun tidak sepenuhnya berkenaan dengan aktivitas para nelayan di bidang perikanan laut, padahal, walaupun pertanian dan peternakan merupakan mata-pencaharian utama bagi sebagian terbesar penduduk Madura, namun perikanan laut selain memiliki arti penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat, juga dijadikan semacam “komplementer” akibat kondisi tanah yang keras berbatu, dan tandus di daerah Madura. Hal ini diperkuat oleh studi de Jonge (1989c), yang menyatakan bahwa secara statistikal aktivitas perekonomian masyarakat Madura di sektor perikanan laut merupakan sektor ekonomi terpenting kedua setelah sektor pertanian. Dari keseluruhan jumlah penduduk Madura, terdapat sekitar 8% yang bermatapencaharian pokok sebagai nelayan. Jumlah tersebut akan lebih besar bila ditambah dengan jumlah yang hampir sama dari mereka yang menjadikan nelayan sebagai mata-pencaharian sambilan. Suatu jumlah, yang diperkirakan hampir seperempat dari seluruh nelayan yang ada di Jawa dan Madura. Peneliti lain, seperti Munir (1985) dan Djojomartono (1985) memfokuskan diri pada studi tentang ritus kematian dan adat sekitar kelahiran pada masyarakat nelayan Madura.
Studi de Jonge, Munir dan Djojomartono tersebut, telah memberikan gambaran— walaupun tidak utuh—tentang berbagai aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi dalam latar kehidupan masyarakat pesisiran Madura. Studi de Jong tersebut telah menunjukkan, meskipun tidak seluruhnya, betapa aktivitas perekonomian masyarakat (tradisional ataupun modern) dapat dihubungkan dengan alasan-alasan sosiologis dan kultural, di samping faktor-faktor ekonomi sendiri. Hal itu juga telah ditunjukkan oleh sejumlah studi lain dari Geertz (1956; 1963), Geertz (1981), McVey (1963), Wertheim (1959), Koentjaraningrat (1969; 1985), serta Castles (1982), tentang berbagai aktivitas ekonomi masyarakat.
Atas dasar ini, penulis melakukan penelitian lapangan yang difokuskan pada kajian tentang “konteks dan aspek-aspek sosial dan budaya di dalam suatu peristiwa/aktivitas perekonomian masyarakat nelayan tradisional”. Penelitian dilakukan di sebuah desa nelayan tradisional “Bandaran” yang terletak di daerah pesisir utara selat Madura, sekitar 20 Km sebelah barat daya kota Pamekasan. Penelitian dilakukan selama satu bulan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar