DAFTAR ISI

Rabu, 30 November 2011

Krisis Kebermaknaan Hidup Manusia Modern 1
Ditulis oleh: Edi Purwanto Pada: 23 Oktober 2010 Tags: kebermaknaan hidup, kehidupan kota, manusia modern, neurosis noogenik, spiritualitas, Viktor Frankl | 2 Komentar


23 Oktober 2010


Hiruk pikuk perkotaan menuntut manusia harus berjalan seiring dengan tuntutan pasar. Kehidupan dipaksa untuk mengikuti trend dan mode yang diciptakan oleh pasar. Hampir tidak ada ruang untuk berekspresi dan berkreasi apalagi melakukan perlawanan terhadap arus modernisasi ini.

kehidupan di kota besar

Pada umumnya masyarakat perkotaan seringkali terjebak dalam rutinitas. Siklus hidupnya konstan setiap harinya. Mereka melakukan rutinitas berupa bangun pagi, pergi ke kantor, pulang, menonton televisi kemudian tidur sampai pagi. Siklus manusia seperti ini akan dilakukan berulang-ulang hingga masa pensiun dan masuk panti jompo, kemudian mati. Walaupun juga ada sebagian besar yang dalam hidupnya diselingi pernikahan dan melestarikan keturunan degan beranak pinak.

Energi manusia modern dicurahkan seluruhnya untuk mencapai tujuan dan hasil yang senantiasa terwujud dalam bentuk yang ternyata jauh melampaui apa yang telah difikirkannya. Pengurasan energi masal tersebut akan membentuk ritme yang secara kolektif mengkristal menjadi rutinitas kerja. Aktivitas seperti ini akan menguasai tubuh-tubuh manusia modern, mengkonstruksi kesadarannya, menentukan arah tujuan beserta visinya untuk mecapai progress demi progress. Ritme kehidupan masyarakat modern telah didisiplinkan oleh pola produksi-konsumsi, untung-rugi, menang-kalah dan seterusnya.

Pasar-pasar modern pun memang senantiasa menjajinkan sesuatu yang baru. Senantiasa memproduksi apa yang diinginkan oleh pasar. Selalu ingin meladeni hasrat konsumen yang liar. Seringkali belum selesai produk modernitas diterima dan dicerna dengan sempurna, telah datang serangkaian produk baru berikutnya. Pola konsumsi dan produksi senantiasa berjalan seperti ini. Walaupun tidak selamanya mampu melayani hasrat konsumen. Boleh jadi gejala tersebut lebih sering terlihat di masyarakat kontemporer perkotaan, disebabkan ritme kehidupan yang begitu cepat serta semangat materealisme yang menuntut untuk segera terpenuhi.

Levi Straus menamai komunitas perkotaan sebagai hot society atau masyarakat yang berkembang cepat. Sementara untuk komunitas pedesaan dinamakan sebagai cold society. Dengan demikian perkembangan masyarakat yang berada di pedesaan relatif lamban. Elemen-elemen peradabannya pun tidak sekomplek masyarakat modern. Masyarakat pedesaan juga memutar siklus hidupnya dalam lingkungan tradisi yang berulang dan dijaga kesuciannya, walaupun terlihat jalan di tempat mengikuti angka tahun.

Kemandekan pemikiran yang terjadi pada masyarakat pedesaan pun sebenarnya juga terjadi pada masyarakat perkotaan dalam bentuk yang lebih kompleks. Jika dalam masyarakat pedesaan siklusnya mandek semenjak awal, masyarakat perkotaan yang katanya menerima informasi secara cepat dan melakukan aktivitas yang progresif tidak pernah terbukti. Siklus hidup dalam masyarakat modern ternyata juga konstan seperti halnya masyarakat tradisional. Apa yang dinamakan progresif pada masyarakat modern tidak lain adalah rutinitas hidup yang dilakukan dengan pengurasan energi secara intensif, sehingga menjadi disiplin tubuh yang semakin halus dan menguasai kesadaran.

Krisis Kebermaknaan Hidup

Berbagai problematika yang menyerang manusia modern secara bertubi-tubi ini akan berdampak pada krisisnya pemaknaan terhadap hidup. Kehidupan akan hanya dimaknai sebagai rutinitas yang dilakukan secara berulang-ulang dan sangat menjenuhkan. Hal inilah yang menjadikan masyarakat perkotaan berusaha mencari sandaran hidup.

kehidupan kota yang semrawut

Krisis kebermaknaan hidup ini terjadi ketika kostruksi sosial diobyektifikasi kemudian diinternalisasi kepada setiap individu. Penginternalisasian kondisi sosial ini ternyata tidak memberikan jawaban yang memuaskan akan arah dan makna perjalanan hidup manusia, namun malah menambah masalah kebermaknaan hidup yan lain. Kekrisisan atas makna hidup ini rupanya memang sudah melintasi setiap lini kehidupan perkotaan, menyentuh setiap roda sejarah kehidupan kota dengan ragam dan cirinya maasing-masing.

Seorang ahli logoterapi Viktor Frankl menyebut krisis kebermaknaan hidup ini dengan neurosis noogenik. Kondisi ini dimulai dari perasaan hampa, jenuh, bosan, putus asa, kehilangan minat dan inisiatif, hidup hanya dirasakan sebagai rutinitas belaka, tugas sehari-hari dirasakan sangat menjenuhkan, kehilangan gairah kerja, merasa tidak pernah mencapai kemajuan, sikap acuh tak acuh terhadap kondisi disekeliling, minimnya rasa tanggungjawab terhadap diri dan lingkungan, serta tidak berdaya menghadapi kehidupan.

Kondisi yang demikian ini menjadikan orang ingin lari dari berbagai persoalan yang secara bertubi-tubi menghimpitnya. Pelarian paling akhir adalah pada agama. Agama dianggap jalan terakhir yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di dalam dirinya dan masyarakat.

Kondisi masyarakat yang seperti ini bisa dikatakan kehausan spiritual. Wajah agama yang di tawarkan dalam berbagai ragam, mulai dari yang formal, kaku dan sangat harfiah. Bahkan tasawuf yang dipandang kaya dengan berbagai konsep esoteric, mulai dilirik agar dapat membantu manusia menenangkan kegelisahan serta neurosis noogenik yang mencekamnya. Walaupun mereka juga tidak yakin bahwa apa yang dilakukan itu bisa menjawab berbagai permasalahan yang dideritanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar