Makna Hidup: Cahaya di atas Ketakutan
“Pertanyaan itu bukan untuk manusia. Pertanyaan itu hanya untuk Tuhan. Aku tidak mau takut. Aku tidak mau melakukan sesuatu karena takut. Aku tidak mau menjadi manusia yang bergerak karena takut, berlari, melangkah, melompat dan bernapas. Aku ingin menjadi seorang manusia yang bebas. Manusia yang digerakkan oleh tujuan (xxx, 2009).”
Dalam Barlow & Durand (2008) disebutkan bahwa rasa takut adalah emosi yang dapat memberikan motivasi yang kuat bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Dan tahukah kamu bahwa banyak benda – benda tercanggih sepanjang peradaban manusia diciptakan pada masa perang? Secara sadar atau tidak sadar seringkali manusia melakukan sesuatu atas dasar ketakutannya terhadap hal lain; takut tidak lulus ujian, takut kehilangan orang yang dicintai, takut dipandang sebelah mata, takut tidak bisa menghasilkan uang, dan ketakutan – ketakutan lainnya.
Semua adalah rasa takut yang wajar untuk dialami, dan adalah sesuatu yang wajar juga apabila seseorang melakukan sesuatu atas dasar rasa takut yang ia miliki. Akan tetapi sadarkah kita bahwa ketika kita melakukan sesuatu atas dasar rasa takut, pilihan kita akan terbatas pada dua jenis respon yang kedua-duanya berakar pada keinginan untuk menyelamatkan diri sendiri?. Dalam hal ini pilihan tersebut adalah lari untuk menyelamatkan diri sendiri atau melawan yang memiliki kecenderungan untuk mendegradasikan apapun yang berhubungan dengan sumber ketakutan kita.
Dalam pengalaman sehari – hari ini bisa diwujudkan diantaranya dengan berbohong (menghindar dari apa yang kita takutkan), self denial/penyangkalan diri (menghindar apabila kenyataan yang berkaitan dengan diri kita merupakan sesuatu yang kita takuti) atau bersikap tidak baik terhadap siapapun yang bisa berhubungan dengan rasa takut kita (misalnya: bersikap tidak baik pada sahabat kita yang kita anggap sebagai saingan kita dalam suatu hal). Segala respon yang dihasilkan atas dasar rasa takut sangatlah jarang yang dapat berujung pada suatu yang bersifat konstruktif. Ditambah lagi, perasaan takut (misalnya: hehilangan orang yang kita sayang, atau terlihat buruk di mata orang lain) seringkali membuat kita merasakan emosi negatif dan membuat kita sulit untuk melihat hal-hal positif yang terjadi ataupun yang sudah kita capai atau kita miliki.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita punya pilihan? Apakah manusia adalah makhluk yang terbatas pada “rasa takut”?
Salah satu tokoh psikologi pada tahun 1943, Abraham Maslow telah memberikan dasar untuk menjawab pertanyaan tersebut. Maslow menyebutkan aktualisasi diri sebagai tingkatan teratas dari hierarki kebutuhan manusia. Hal ini secara tidak langsung menjawab bahwa manusia sebenarnya dapat berkembang lebih dari sekedar kebutuhannya (lebih dari pemenuhan kebutuhan fisiologis, lebih dari pemenuhan kebutuhan akan keamanan, lebih dari pemenuhan kebutuhan akan hubungan sosial dan lebih dari pemenuhan kebutuhan akan penghargaan akan dirinya sendiri). Saat ini teori tersebut banyak mendapat kontroversi, bahwa urutan dalam hierarki kebutuhan tersebut mungkin tidaklah sama bagi setiap orang, akan tetapi terlepas dari bagaimanapun urutan bagi setiap orang, keberadaan kebutuhan aktualisasi diri membuktikan bahwa manusia bisa lepas dari ketakutannya untuk memenuhi segala kebutuhan dasarnya untuk berkembang.
Pada perkembangan terbaru dari ilmu psikologi, yaitu Positive Psychology, disebutkan bahwa ilmu ini didasari oleh kepercayaan bahwa setiap manusia berkeinginan untuk menjalani kehidupan yang bermakna, untuk dapat mengembangkan apa yang terbaik dalam diri mereka (http://www.ppc.sas.upenn.edu). Bahwa manusia, ketika telah terlepas dari segala ketakutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebenarnya akan dapat melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dia anggap sebagai makna hidupnya; apa yang seharusnya ia lakukan dalam hidupnya. Seperti yang diungkapkan oleh Victor Frankl:
” Life ultimately means taking the responsibility to find the right answer to its problems and to fulfill the tasks which it constantly sets for each individual.”
(“Makna Hidup yang tertinggi adalah – bertanggung jawab dalam menemukan jawaban yang benar untuk setiap permasalahannya dan memenuhi tugas yang telah ditentukan untuk setiap individu”)
Dalam tulisan Michael F. Steger disebutkan bahwa; data yang dihasilkan oleh penelitian dalam empat dekade mengarah pada kesimpulan yang sama, bahwa “makna” adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Ketika seorang manusia memukan makna dalam kehidupannya, dia akan lebih mungkin untuk merasakan emosi-emosi yang menyenangkan seperti cinta dan kebahagiaan. Orang yang menemukan makna hidup juga lebih mungkin untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya, dan juga lebih mudah untuk menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Dan ketika seseorang menemukan makna dalam hidupnya, ia akan dapat menemukan tujuan dari apa yang terjadi dan apa yang ia lakukan, hal ini membuat orang-orang tersebut lebih dapat melihat masa depan yang cerah di hadapannya (http://www.psychologytoday.com/blog/the-meaning-in-life/200903/mean-or-not-mean)
Ketika semua hal sudah dipaparkan, kita semua tahu bahwa kita memiliki pilihan. Apakah kita bersedia untuk digerakkan oleh hanya sekedar rasa takut, atau kita memilih untuk menjalani sebuah hidup yang bermakna, yang digerakkan oleh tujuan dalam setiap langkah yang kita ambil? Pada kenyataannya menjalankan pilihan yang diambil tidak akan semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi pilihan untuk hidup bebas dari rasa takut tentunya membawa harapan bahwa manusia bisa berkembang lebih dari sekedar batasan respon melarikan diri atau melawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar